Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Naik Transum Setiap Rabu? Jangan Paksa Sebelum Siap

17 Juni 2025   06:19 Diperbarui: 17 Juni 2025   20:46 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpang tampak berdesak-desakan saat antre memasuki transum(KOMPAS.com/Zintan Prihatini)

Saya Tidak Menolak Transportasi Umum, Tapi...

Saya tumbuh di keluarga yang mengandalkan angkutan umum. Dulu, kalau ingin ke kota, saya harus naik ojek, lanjut angkot, baru bus kota. Penuh perjuangan. Tapi justru di sanalah saya belajar satu hal penting: transportasi publik bukan hanya soal kendaraan, tapi soal kepercayaan.

Itulah sebabnya, saat saya membaca berita tentang wacana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang ingin mewajibkan karyawan swasta naik transportasi umum setiap hari Rabu, saya tidak langsung menolak. (Kompas.com - 16/06/2025)

Saya mengerti semangatnya: mengurangi kemacetan, menurunkan emisi, dan mendorong budaya transportasi publik. Tapi, seperti kata pekerja yang diwawancarai dalam liputan Kompas, "Tambah dulu armadanya, baru bisa diterapkan." Dan saya sangat sepakat.

Saya bukan warga Jakarta, tapi suara mereka adalah suara kita semua yang tiap hari berharap bisa sampai kantor tanpa harus berebut kursi, menahan gerah, atau khawatir ketinggalan bus.

Mewajibkan Tanpa Menyediakan, Itu Bukan Solusi

Kita seringkali punya kebijakan yang terdengar canggih di permukaan, tapi pincang di lapangan. Wacana "Rabu naik Transum" ini bisa jadi contoh terbaru. 

Tampaknya sederhana. Satu hari dalam seminggu, ayo kurangi kendaraan pribadi. Tapi ini Jakarta. Kota dengan volume kendaraan yang sudah tak sebanding dengan lebar jalan dan kapasitas angkut publiknya.

Bayangkan, ribuan karyawan swasta yang biasanya naik motor atau mobil pribadi, dipaksa beralih ke TransJakarta. Antrean di halte akan mengular lebih panjang, waktu tunggu bertambah, dan potensi keterlambatan meningkat drastis. 

Pertanyaannya: Apakah armada TransJakarta sudah siap menampung lonjakan ini? Apakah sudah ada studi simulasi kepadatan dan efisiensi waktu?

Belum lagi soal rute. Banyak pekerja tinggal di pinggiran Jakarta, Bekasi, Depok, Tangerang. Akses ke pusat kota tidak selalu mulus. Satu kendaraan mogok, satu cuaca buruk, bisa membuat seluruh sistem tersendat. 

Kalau infrastruktur belum siap, apa tidak malah menambah masalah baru di hari Rabu?

Sudah Siapkah Negara untuk Naik Transum?

Kalau kita mau bicara soal "wajib naik Transum," maka negara harus memberi contoh dan fasilitas. Minimal, sebelum mewajibkan masyarakat, pemerintah bisa:

  1. Menambah armada dan memperpendek interval waktu kedatangan. Jangan sampai masyarakat harus menunggu lebih dari 10 menit di halte.
  2. Meningkatkan kenyamanan dan keamanan di halte dan kendaraan. Bukan hanya soal AC dan kebersihan, tapi juga rasa aman bagi perempuan, anak-anak, dan lansia.
  3. Membangun integrasi antar moda. Naik ojek ke halte, lanjut bus, sambung ke KRL atau LRT. Semua harus terintegrasi dalam satu sistem tiket dan waktu.
  4. Memberikan insentif bagi perusahaan swasta. Misalnya, potongan pajak untuk perusahaan yang memberikan shuttle bus atau insentif transportasi umum bagi karyawannya.
  5. Memperbanyak fasilitas park and ride. Agar pengguna kendaraan pribadi bisa menitipkan kendaraan dan lanjut naik Transum dengan aman.

Baru setelah semua ini berjalan, kita bisa bicara soal kewajiban. Bukan sebaliknya. Jangan jadikan rakyat sebagai kelinci percobaan atas sistem yang belum matang.

Dari Wacana Jadi Gerakan: Perlu Pendekatan Sosial, Bukan Instruksi Sepihak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun