Saya tidak pernah benar-benar membenci KPR. Tapi saya juga tidak pernah mencintainya. Yang saya tahu, sejak kecil, saya terbiasa melihat bagaimana orang dewasa bicara tentang cicilan rumah seperti sedang bicara tentang utang nyawa. Serius, berat, dan penuh jeda.
Suatu malam di masa kecil saya, ayah duduk di ruang tamu dengan sorot mata yang tidak biasanya. Ibu berjalan mondar-mandir tanpa bicara.
Saya belum tahu kata “disita” saat itu, tapi saya tahu rumah kami sedang dalam masalah. Beberapa hari kemudian, saya mendengar kabar rumah kami akan diambil bank.
Tidak ada yang menjelaskan, tidak ada yang bicara terang-terangan. Tapi saya tahu ayah sudah berjuang. Dan sejak saat itu, saya tumbuh besar dengan satu kesadaran: sistem bisa membuat kita merasa gagal, bahkan saat kita sudah berusaha.
Sejak itu pula, saya mulai ragu ambil KPR. Bukan karena saya tidak ingin punya rumah. Tapi karena saya tidak ingin rumah menjadi sumber luka baru.
|Baca juga: Rumah Subsidi 18 Meter Persegi: Solusi atau Awal dari Masalah Baru?
Takut Itu Nyata, Tapi Jarang Dibicarakan
Banyak orang menilai generasi muda sekarang manja. Tidak tahan komitmen. Tak mau bersusah payah punya rumah. Tapi jarang ada yang benar-benar mau mendengar alasan di balik itu semua.
36% responden Gen Z dan milenial enggan membeli properti, memilih menyewa karena merasa belum siap finansial membeli. — Property Perspective from Gen Z (2024)
Kami, anak muda, melihat sendiri bagaimana orang tua kami, generasi sebelumnya, berjuang keras untuk mewujudkan mimpi rumah sendiri, tapi seringkali justru terjerembab dalam kubangan utang yang tak berujung.
Kami tumbuh dengan ingatan tentang surat tagihan, perdebatan di meja makan tentang cicilan yang menunggak, dan malam-malam ketika listrik diputus karena tunggakan lainnya lebih prioritas dibayar.
Dan kini, saat kami punya kesempatan untuk mengulang jalur yang sama, kami justru berhenti sejenak dan bertanya: apakah ini jalur yang benar?
Ketakutan yang Rasional di Tengah Sistem yang Tidak Manusiawi
Sistem keuangan sering kali menghukum yang tidak tercatat, bukan yang tidak mampu.