Sore itu, di kedai kopi kecil di sudut jalan, saya melihat Pak Anto, pemilik kedai, sedang menghitung uang dengan raut wajah yang campur aduk. Ada kelegaan di sana, tapi juga kerutan samar di dahinya.
"Berat juga ya, Mas, sekarang ini," katanya sambil menunjuk tumpukan uang kertas. "Tantangan UMKM itu bukan cuma jualan biar laku, tapi juga mikirin dapur karyawan harus ngebul tiap bulan. Terlebih lagi, memastikan gaji UMKM mereka selalu aman."
Saya mengangguk. Obrolan tentang UMKM dan tantangan menggaji karyawan memang bukan hal baru. Ini seperti dilema abadi bagi banyak pengusaha kecil.
Di satu sisi, mereka ingin karyawannya sejahtera, layak, dan termotivasi. Di sisi lain, roda bisnis UMKM itu seringkali berputar tidak menentu.
Penjualan bisa naik drastis di musim liburan, tapi anjlok di bulan-bulan sepi. Modal seringkali pas-pasan, untung tipis, sementara kebutuhan pokok karyawan terus merangkak naik.
Ini bukan hanya angka-angka di laporan keuangan, tapi cerita hidup di baliknya. Ada harapan, ada keringat, ada pula kegelisahan yang menyelimuti.
Dapur UMKM: Antara Harapan dan Realitas yang Terjal
Setiap kali saya melewati lorong pasar atau gang-gang kecil di kota, saya melihat ratusan, bahkan ribuan, UMKM berdiri. Ada warung makan sederhana, toko kelontong, jasa jahit, sampai kedai kopi estetik yang baru buka.
Mereka adalah denyut nadi ekonomi kita. Mereka menyerap tenaga kerja, menggerakkan roda ekonomi lokal, dan menjadi impian banyak orang untuk mandiri.
Saya teringat Bu Lastri, tetangga saya. Beliau punya usaha katering rumahan. Dulu, hanya beliau dan suaminya yang mengurus semua. Tapi pesanan makin banyak, akhirnya beliau merekrut dua orang tetangga yang membutuhkan pekerjaan.
Raut wajah Bu Lastri saat merekrut mereka terlihat begitu bahagia. Ada secercah harapan di mata kedua tetangganya itu. Tapi belakangan, saya sering melihat Bu Lastri duduk termenung di teras.