Impian memiliki rumah hari ini terasa seperti memeluk bayangan: dekat secara harapan, tapi jauh secara kenyataan. Tapi mungkinkah mimpi itu hanya tertunda, bukan hilang?
Saya masih ingat betul malam itu. Sepi, sedikit gerimis, dan hanya lampu belajar kecil yang menyala. Di hadapan saya, selembar kertas bergambar kotak-kotak dan sebuah pensil tumpul. Saya menggambar sesuatu yang selama ini saya simpan rapat-rapat di kepala: Impian Memiliki Rumah saya.
Bukan rumah dengan pagar tinggi dan balkon dua lantai. Bukan juga rumah dengan kolam renang atau dapur Instagramable.
Saya hanya ingin rumah yang cukup satu lantai. Ada taman kecil di depan. Ruang baca di sudut ruangan yang langsung menghadap jendela. Dinding warna lembut, dan aroma kayu di lantainya. Bukan mewah. Tapi hangat. Tempat yang bisa saya panggil: pulang.
Tapi sekarang, saya mulai bertanya-tanya: Apakah saya benar-benar sedang mengejar impian memiliki rumah... atau sekadar berhalusinasi?
Mengapa Impian Memiliki Rumah Kian Jauh?
Harga rumah di tempat saya tinggal sekarang sudah seperti langit: bisa dilihat, tapi tak bisa dijangkau, bahkan ketika saya berdiri di puncak semua pengharapan yang saya punya.
Sebagai guru honorer, saya tidak asing dengan hitung-hitungan yang membuat napas jadi berat. Gaji bulanan saya tidak sebanding dengan laju harga properti yang terus menanjak tanpa ampun. Kadang saya iseng menghitung, bukan karena ingin menyiksa diri, tapi karena saya ingin tahu: seberapa jauh saya tertinggal?
Jika saya menabung sejuta rupiah setiap bulan, saya butuh waktu lebih dari 30 tahun untuk bisa membeli rumah secara tunai. Itu pun dengan asumsi harga rumahnya tidak naik. Padahal kita semua tahu, harga rumah tidak pernah diam. Ia seperti waktu: berjalan terus ke depan, tak pernah menoleh ke belakang.
Dan di tengah semua itu, saya kadang merasa seperti sedang ikut lomba lari, tapi garis start saya dipasang jauh lebih mundur dari peserta lainnya.
Belum sempat berlari, saya sudah kehabisan napas.
Harga rumah terus naik seperti waktu. Tak bisa dihentikan, tak pernah menoleh. Sementara saya masih di sini, menghitung harapan yang makin pelan napasnya.
KPR: Solusi atau Sekadar Menunda Luka?
Beberapa teman saya memilih jalan KPR. Saya ikut bahagia melihat mereka menggenggam kunci rumah pertamanya, tersenyum di depan pintu, memotret pagar dengan caption penuh rasa syukur dan haru. Itu momen yang indah dan mereka layak merayakannya.