Meja itu panjang.
Mengilap seperti janji yang dibungkus kertas kado mahal.
Di atasnya, gelas-gelas kristal berkilau menampung cahaya,
sendok garpu berjajar seperti pasukan parade.
Tapi ada satu yang menatapku lebih tajam dari pisau steak:
sebuah piring kosong.
Putih. Bersih. Datar.
Dan sunyi.
"Ayo makan,"Â katanya.
Tersenyum, sopan.
Kancing bajunya mengilat.
Tapi matanya tak melihat.
Aku mengangguk.
Tangan menggapai sendok,
padahal tak ada yang bisa disendok.
Di hadapanku: hanya ruang kosong yang menguap pelan-pelan.
Bau makanan datang dari ujung meja
tapi tak pernah sampai ke sudut tempatku duduk.
Di luar, langit retak oleh klakson dan debu.
Seorang anak memeluk perutnya yang cekung
seperti mangkuk yang tak pernah diisi.
Ia menatapku dari balik jendela.
Tersenyum.
Seolah ingin berkata:
"Kau juga, ya?"
Aku kenyang oleh basa-basi.
Terlilit oleh etika meja makan
yang lebih sibuk membahas saham,
daripada sepotong roti yang tak sempat dicicipi orang tua di kampung.
Ada yang bicara tentang resesi,
tentang data kemiskinan,
tentang strategi CSR
tapi tak satu pun yang melihat piring di depanku.
Kosong,
tapi berat.
"Apakah kamu baik-baik saja?"
Seseorang bertanya.
Aku hampir tertawa.
Ingin kujawab:
"Aku kenyang oleh diam. Tapi hatiku kelaparan."
Piring kosong itu,
bukan karena dapur tak punya bahan.
Tapi karena seseorang lupa,
bahwa manusia butuh lebih dari sekadar tampilan mewah.
Bahwa lapar itu bukan hanya di perut
tapi di perhatian yang tidak diberikan,
di nama yang tak disebut,
di keberadaan yang tak diakui.
Kadang, yang membuat kita hampa bukan karena tak ada makanan,
tapi karena tak ada yang menganggap kita pantas diberi.
Di akhir acara,
aku bangkit dari kursi empuk itu,
meninggalkan meja yang tak pernah benar-benar menyambutku.
Langkahku ringan.
Tapi hatiku penuh.
Bukan oleh makanan,
melainkan oleh rasa ingin pulang.
Ke meja tua di rumah,
di mana nasi mungkin keras,
tapi cinta selalu hangat.