Aku menulis ini dengan tangan yang masih berbau kopi—
pahitnya menusuk, tapi meninggalkan rasa yang tak lekang.
Seperti rindu yang tak selesai.
Yang tertinggal di sudut senja.
Senja itu bukan hanya warna di langit,
tapi ruang di mana aku dan kamu pernah bertemu—
meski hanya dalam bayang.
Aku melihat daun-daun gugur perlahan,
jatuh tanpa suara.
Seperti rindu yang terlepas dari genggaman.
Rindu ini bukan lagu yang mudah dicerna.
Ia bukan matahari yang terang benderang,
melainkan cahaya redup yang menari di celah-celah waktu.
Menyisakan tanya di antara detik yang berlalu.
Apa rindu itu?
Sepatu yang terlalu kecil untuk kaki yang lelah?
Atau teh yang tiba-tiba terasa asin?
Aku bertanya pada angin,
tapi angin hanya berbisik tanpa jawaban.
Aku ingat, kita pernah duduk berdua,
di bangku kayu yang retak,
memandang jalan yang basah oleh hujan.
Kamu tertawa,
tapi ada senyum yang tak sampai ke mata.
Seperti luka lama yang dipeluk dalam diam.
Rindu adalah ruang yang tak pernah benar-benar kosong.
Ia mengisi celah-celah hati yang terlupakan,
menjadi suara-suara kecil di tengah kesunyian.
Bayangmu kadang muncul di cermin,
tapi kau tak pernah benar-benar hadir.
Mungkin rindu itu adalah surat yang gagal sampai ke bulan—
terjebak di antara bintang-bintang yang tak berani aku sentuh.
Atau janji yang tertunda,
menunggu waktu yang tak kunjung tiba.
Aku menulis ini untuk kita yang pernah merasa sendiri dalam keramaian,
yang pernah menahan tangis di depan jendela,
dan yang merasakan sunyi menggigit sampai ke tulang.
Kau bukan hanya aku, dan aku bukan hanya kau—
kita adalah rindu yang tak pernah selesai.
Senja itu, dengan segala kehangatannya yang perlahan padam,
mengajarkan aku satu hal:
bahwa rindu bukanlah sesuatu yang harus diselesaikan,
tapi sesuatu yang harus dirasakan—
seperti angin yang lewat,
yang tak perlu ditangkap, cukup diterima.
Dan ketika langit mulai gelap,
aku masih duduk di sudut itu,
menunggu rindu yang entah akan pulang atau pergi.
Namun, aku tahu,
bahwa di antara sunyi dan cahaya remang,
rindu itu tetap hidup—
berdenyut pelan, tapi nyata.