Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Di Balik Senyum Anak Sekolah: Luka yang Tak Pernah Diabsen

29 Mei 2025   15:30 Diperbarui: 2 Juni 2025   19:20 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang guru merangkul siswanya dengan hangat, menciptakan ruang aman di tengah tekanan dunia sekolah. (Pexels)

Sekolah: Tempat Belajar atau Medan Bertahan?

Saya masih ingat aroma seragam sekolah yang baru dicuci, suara lonceng pagi yang seolah menjadi aba-aba kehidupan. Dulu, saya percaya sekolah adalah tempat terbaik untuk tumbuh. Tempat di mana mimpi disirami, dan harapan dipupuk. 

Tapi semakin dewasa, semakin banyak cerita yang saya dengar - dan alami sendiri - yang membuat saya bertanya: benarkah sekolah selalu jadi ruang yang aman bagi jiwa? Apakah sekolah sudah menjadi lingkungan belajar aman bagi semua anak?

Kita mungkin tidak bicara soal kekerasan fisik. Tapi bagaimana dengan luka yang tak terlihat? Tekanan yang perlahan-lahan menggrogoti rasa percaya diri, membuat seseorang berjalan sambil membawa beban tak kasatmata: ekspektasi pendidikan yang terlalu tinggi.

Di Balik Senyum Anak Sekolah: Ada yang Terluka Tapi Tak Pernah Terlihat

Anak-anak seringkali lebih jujur lewat diam. Lewat tatapan yang menunduk, langkah yang berat menuju gerbang sekolah, atau tawa yang menggema tapi terasa kosong. 

Saya pernah menjadi salah satu dari mereka. Duduk di bangku kelas, mendengarkan guru berbicara, tapi hati saya sibuk berperang dengan rasa takut akan nilai jelek, kompetisi diam-diam dengan teman sebangku, dan beban menjadi "anak pintar" yang tak boleh gagal. Anak dan tekanan akademik seolah tak terpisahkan.

Sekolah tidak pernah benar-benar mengajarkan cara mengenali perasaan sendiri. Kita tahu rumus luas lingkaran, tapi tidak tahu harus bilang apa ketika merasa tertekan. Kita hafal tokoh-tokoh sejarah, tapi gagap menyebutkan emosi yang sedang kita rasakan. Ironis, bukan?

Ekspektasi: Peluru Halus dari Sistem yang Terbiasa

"Kamu harus juara."

"Nilai harus sempurna."

"Kamu malu-maluin keluarga."

Ucapan-ucapan itu mungkin terdengar biasa. Tapi saat diulang terus-menerus, ia bisa jadi seperti tetesan air yang membelah batu. Perlahan, tapi pasti. Banyak anak yang akhirnya menyimpulkan bahwa harga diri mereka tergantung pada angka di rapor. Bahwa mereka layak dicintai hanya jika berprestasi. Ini adalah bentuk beban psikologis siswa yang sangat sering diabaikan dalam sistem pendidikan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun