Awal yang Menggugah: Ikhlas Itu Apa, Sebenarnya?
Saya pernah bertanya pada diri sendiri, apa sebenarnya makna dari "ikhlas"? Sederhana katanya, tapi sulit sekali untuk saya pahami, apalagi dipraktikkan dalam hidup. Apalagi kalau menyangkut cinta. Cinta yang selama ini saya kira berarti memiliki. Memiliki seseorang, atau sesuatu yang kita cintai sepenuh hati. Namun, seringkali kenyataan berkata lain. Cinta bisa membuat kita sakit, kecewa, dan terkadang terjebak dalam keinginan yang tak terpenuhi.
Baru-baru ini saya kembali menyelami pemikiran Soren Kierkegaard, seorang filsuf Denmark yang mungkin tak begitu populer di luar lingkup filsafat, tapi pemikirannya mengena dalam soal-soal hati dan eksistensi manusia. Kierkegaard membedakan antara cinta yang bersifat memiliki dan cinta yang bersifat ikhlas-cinta yang memberi ruang tanpa mengikat. Dan dari sana saya mulai mengerti bahwa mungkin, ikhlas itu belajar mencintai tanpa harus memiliki.
|Baca Juga:Â Mengapa Sistem Kelas Tradisional Tidak Lagi Cukup untuk Generasi Z?
Sebelum Anda berpikir ini akan menjadi artikel berat penuh istilah rumit, saya ingin berbagi dengan cara yang santai, seperti kita duduk bersama di sebuah kafe kecil, berbincang hangat tentang hal yang dekat dengan hati kita. Mari kita mulai.
Cinta yang Mengikat dan Cinta yang Melepaskan
Jika boleh jujur, saya dulu pernah mengira bahwa cinta adalah soal memiliki: memiliki perhatian, waktu, bahkan hati seseorang. Kalau cinta tidak direspons sama, saya merasa gagal. Seperti ada benang tak kasat yang mengikat saya pada harapan dan kekecewaan.
Namun Kierkegaard mengatakan sebaliknya. Dia membedakan antara eros-cinta yang ingin memiliki dan menguasai dengan agape, cinta yang ikhlas dan tanpa pamrih. Agape itu seperti sinar matahari yang menyinari bunga, bukan merenggutnya. Dia memberi, tanpa berharap bunga itu miliknya untuk selalu dipetik.
|Baca Juga: Mengapa Menulis Tangan dan Buku Cetak Kembali Jadi Pilihan Utama di Pendidikan Moderen?
Saya pernah membaca kutipan Kierkegaard yang sederhana tapi dalam:
Cinta yang sejati adalah ketika kamu mencintai tanpa harus memiliki, dan melepaskan tanpa harus kehilangan.
Bunyi kalimat itu sederhana, tapi hatinya berat, terutama saat kita menjalani hidup yang penuh dengan "kepemilikan" dalam hubungan. Apakah kamu juga pernah merasa cinta itu seperti ikatan yang menyakitkan, karena terlalu ingin memiliki?
Pengalaman Saya: Ketika Cinta Menjadi Beban
Saya ingat satu masa, saat saya sangat mencintai seseorang. Mungkin Anda juga pernah merasakan. Saya ingin dia selalu ada, selalu merespon, selalu dekat. Tapi kenyataannya tidak selalu begitu. Ada jarak, ada diam, dan ada keheningan yang kadang menusuk.