Empat nyawa melayang di perlintasan Magetan. Ini bukan sekadar kisah kelalaian, tapi cermin budaya kita yang gemar mengejar waktu, tapi lupa akan hidup. Apa yang bisa kita pelajari?
Suara yang Terlambat
Aku membayangkan hari itu di Magetan, saat udara masih menyisakan dingin dan basah dari embun yang baru saja reda. Aroma tanah yang segar dan lembap menyelimuti jalanan, disertai langit kelabu yang menunduk, seakan ikut bersedih.Â
Di perlintasan rel kereta, deretan motor terhenti, mesin mereka berdesis pelan, tangan-tangan pengendara sudah siap di gas, menunggu isyarat untuk melaju.
Palang pintu perlahan terangkat. Sebuah sinyal yang sudah terlalu sering mereka nantikan. Dengan penuh keyakinan, para pengendara itu mulai melaju, menyeberangi rel yang seharusnya menjadi batas antara aman dan bahaya.
Namun, di balik palang yang terbuka itu, dari kejauhan, muncul suara yang terlambat deru KA Malioboro Ekspres yang melaju kencang, tak terhentikan, seperti badai yang menyapu. Waktu seakan membeku dalam hitungan detik yang mengerikan.
Besi bertubrukan, dentuman keras mengguncang, diikuti oleh jeritan yang terputus-putus suara yang mengoyak keheningan pagi. Lalu, keheningan yang jauh lebih menakutkan, sebuah sunyi yang merenggut segala harapan.
Empat nyawa lenyap dalam sekejap. Empat cerita berhenti tanpa peringatan.
Dan kita? Kita hanya bisa berdiri di sini, terpaku dan bertanya dengan getir: "Berapa kali lagi kita harus mengulang kesalahan ini? Kapan kita benar-benar belajar untuk berhenti, sebelum semuanya terlambat?"
Kisah yang Tak Pernah Baru
Tragedi seperti ini bukanlah cerita baru yang muncul tiba-tiba. Ia sudah berulang kali terjadi, seolah menjadi lagu lama yang diputar terus-menerus tanpa henti.
Tragedi Bintaro II (2013): Pada 9 Desember 2013, sebuah kereta rel listrik (KRL) bertabrakan dengan truk tangki Pertamina di perlintasan Pondok Betung, Bintaro. Kecelakaan ini menyebabkan sembilan orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka.Â