Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kadang, Duduk Diam Adalah Bentuk Tertinggi dari Merawat Diri

19 Mei 2025   19:33 Diperbarui: 19 Mei 2025   19:33 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Duduk diam memandangi hujan, momen reflektif yang penuh ketenangan dan makna. (Pexels)

Pernahkah kamu merasa lelah tanpa tahu persis kenapa? Bukan karena pekerjaan menumpuk, bukan juga karena tubuh sakit. Tapi ada sesuatu yang terasa berat di dalam, seperti batin yang sedang menyeret langkahnya sendiri. 

Saya pernah. Dan anehnya, bukan pelukan, bukan liburan, bukan juga curhat yang membuat saya merasa lebih baik. Tapi duduk diam. Sesederhana itu.

Saya ingat hari itu. Hujan turun sejak pagi. Di luar, dunia sibuk seperti biasa: klakson bersahutan, notifikasi ponsel tak henti-hentinya menyala, dan daftar tugas saya makin panjang.

Tapi di tengah semua itu, saya tiba-tiba menarik napas dalam-dalam, mematikan semua layar, dan duduk. Hanya duduk. Diam. Tidak membuka ponsel, tidak menyalakan lagu, tidak melakukan apa-apa kecuali menyadari bahwa saya sedang ada. Di sini. Sekarang.

Dan entah kenapa, air mata jatuh begitu saja.

Diam Tidak Sama dengan Menyerah

Dalam dunia yang memuja produktivitas dan kecepatan, duduk diam sering kali dianggap malas. "Kamu ngapain aja hari ini?" Kalau jawabannya, "Aku cuma duduk," maka seolah-olah hari itu terbuang percuma. 

Kita terbiasa menilai nilai diri dari seberapa banyak hal yang bisa kita centang dari to-do list, bukan dari seberapa dalam kita mengenali diri sendiri.

Padahal, diam bukan berarti menyerah. Diam bukan berarti tak tahu arah. Diam bisa jadi satu-satunya cara kita benar-benar mendengarkan suara hati. Karena kadang, satu-satunya yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan diri adalah berhenti bukan terus berlari.

Saya teringat satu kalimat dari seorang teman yang pernah berkata dengan lirih, "Aku capek jadi kuat terus." Dan di situlah saya sadar, bahwa kekuatan sejati kadang bukan tentang menahan semuanya sendirian. Tapi tentang tahu kapan harus meletakkan semuanya, duduk, dan bernapas.

Tubuh Boleh Diam, Tapi Jiwa Sedang Berbicara

Ada banyak percakapan yang hanya bisa terjadi dalam diam. Saat kita berhenti sejenak, barulah terdengar suara-suara yang biasanya tertelan riuhnya hari: keinginan yang selama ini kita tekan, luka yang belum selesai, dan kerinduan yang sudah lama tidak kita akui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun