Terpilihnya Paus Leo XIV menjadi momen bersejarah bagi Gereja Katolik dan dunia. Dalam seruan pertamanya, ia menggugah hati umat dengan pesan perdamaian, kepedulian pada kaum miskin, dan kritik tajam terhadap ketimpangan ekonomi global. Akankah kepemimpinannya menjadi titik balik di tengah dunia yang terluka?
Hari ini, 18 Mei 2025, Vatikan kembali mencatat sejarah. Robert Francis Prevost, seorang misionaris asal Amerika, ditahbiskan sebagai Paus Leo XIV.Â
Tapi bagiku, ini lebih dari sekadar upacara keagamaan. Di balik layar kaca, aku merasakan denting kecil dalam hati karena dalam pidato perdananya, Paus baru ini tidak bicara soal kekuasaan, tapi tentang perdamaian, dan tentang mereka yang kerap kita lupakan: kaum miskin.
Robert Francis Prevost, nama yang mungkin asing bagi banyak umat Katolik, kini dikenang sebagai Paus Leo XIV. Usianya 69 tahun. Wajahnya tenang, pandangannya tajam tapi lembut. Ia berdiri di mobil Paus, melambaikan tangan sambil tersenyum. Ada rasa hangat, seolah-olah ia sedang berkata, "Tenang, aku di sini bukan untuk menghakimi, tapi menemani."
Sebuah Seruan dari Lapangan Santo Petrus
Lapangan Santo Petrus, hari ini, menjadi saksi sejarah baru Gereja Katolik. Di hadapan pejabat tinggi gereja dan puluhan ribu umat yang datang dari penjuru dunia, Paus Leo XIV menyampaikan homili yang tak sekadar khotbah. Itu seperti panggilan batin yang mengetuk pelan dada kita.
"Pada masa kita ini, kita masih melihat terlalu banyak perselisihan, terlalu banyak luka yang disebabkan oleh kebencian, kekerasan, prasangka, ketakutan akan perbedaan, dan paradigma ekonomi yang mengeksploitasi sumber daya Bumi dan meminggirkan yang termiskin." (Kompas.com, 18/05/2025)
Kalimat itu menggantung di udara, dan entah mengapa, terasa seperti bicara langsung pada kita, pada dunia yang gemar berpesta di atas penderitaan orang lain. Pada kita yang diam saat hutan ditebangi, saat laut penuh plastik, saat anak-anak tidur dengan perut kosong di lorong-lorong gelap kota.
Pemimpin dari Amerika dan Hati yang Pernah Tinggal di Peru
Paus Leo XIV bukan hanya Paus pertama yang berasal dari Amerika Serikat. Ia adalah misionaris yang pernah hidup di Peru, negara yang sarat luka, tapi juga kaya budaya dan semangat rakyat jelata.Â
Pengalamannya di sana tak menjadikannya ahli strategi teologi yang kaku, tapi seorang manusia yang tahu betapa hidup bisa sangat keras bagi sebagian orang.
Ia tidak tampil sebagai pahlawan. Justru dengan kerendahan hati, ia mengaku merasa "gentar" dengan tanggung jawab barunya. Ia berkata:
Saya dipilih, tanpa jasa apa pun dari diri saya sendiri, dan sekarang, dengan rasa takut dan gentar, saya datang kepada Anda sebagai seorang saudara yang ingin menjadi pelayan iman dan sukacita Anda.