Tawuran siswa SD di Depok bukan sekadar kekerasan anak-anak. Ini cermin retak dari lingkungan kita dari rumah, sekolah, hingga media sosial. Apa yang sebenarnya terjadi?
Saya Tak Pernah Menyangka...
Saya tumbuh di era ketika perkelahian anak-anak paling banter hanya soal rebutan gundu atau berebut tempat duduk di angkot sekolah.Â
Kami mungkin saling dorong, mungkin sedikit teriak. Tapi tidak pernah, sama sekali tidak pernah, saya membayangkan anak SD membawa penggaris besi panjang - bahkan diduga parang - dan berjalan menuju arena tawuran layaknya perkelahian jalanan dewasa.
Lalu saya membaca berita dari Cilangkap, Depok. (Kompas.com, 13/05/2025)
Seketika, dada saya sesak. Sejak kapan halaman sekolah menjadi medan perang? Sejak kapan seragam pramuka bukan lagi lambang kedisiplinan dan persahabatan, tapi menjadi seragam "pertempuran"?
Tawuran Siswa SD: Sebuah Kenyataan yang Tak Terbayangkan
Tanggal 10 Mei 2025, Sabtu pagi yang seharusnya riang dan penuh tawa, berubah menjadi catatan kelam di Kota Depok.Â
Dua kelompok siswa SD, dari SDN Cilangkap 05 dan SDN Cilangkap 08, terlibat dalam tawuran yang terekam dan tersebar di media sosial.
Mereka masih kecil - masih mengenakan seragam pramuka - berlarian sambil membawa benda panjang, yang oleh Ketua RW 20 disebut sebagai penggaris besi. Bahkan, dalam rekaman video yang beredar, terlihat dua siswa diduga membawa senjata tajam jenis parang.
"Kalau sajam, anak SD pasti ketahuan. Gimana naruhnya di tas?" kata Muchban, Ketua RW setempat, dengan nada yang tidak kalah bingungnya dengan kita semua.
Tawuran itu akhirnya dilerai oleh penjaga sekolah dan penjaga makam. Bayangkan: orang dewasa yang bekerja menjaga ketenangan, kini harus ikut melerai anak-anak yang saling meneriakkan kemarahan.