Kasus di Tuban tentang anak yang menganiaya ayah kandungnya membuka luka kolektif tentang relasi keluarga yang retak. Ini bukan hanya tentang kekerasan, tapi tentang luka yang tak pernah dibicarakan. -Â Kompas.com - 12/05/2025
Ketika Suara Hati Tak Didengar
Saya tak tahu siapa yang pertama kali berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman. Tapi saya yakin, tidak semua orang bisa mengiyakan itu dengan mudah.Â
Bagi sebagian orang, rumah justru adalah tempat paling bising bukan oleh suara, tapi oleh diam yang menyakitkan. Diam yang menelan harapan, dan perlahan memupus rasa percaya.
Berita tentang DI, seorang pria 32 tahun di Tuban, yang menganiaya ayah kandungnya hingga tak sadarkan diri, bukan hanya membuat saya terkejut. Ia membuat saya diam cukup lama, sembari bertanya, "Apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik pintu-pintu rumah kita?"
Di Balik Kekerasan, Ada Luka yang Lebih Dalam
DI bukan anak kecil yang sedang tantrum. Ia seorang pria dewasa. Tindakannya tak bisa dibenarkan. Tapi saya percaya, setiap tindakan punya akar. Dan akar dari kekerasan, sering kali bukan kebencian, tapi luka yang tak pernah sembuh.
Menurut Kapolsek Kerek, AKP Ngatimin, DI merasa diabaikan oleh sang ayah saat bertamu. Ia kecewa, marah, lalu meledak. Ia tak hanya menggunakan tangan kosong, tapi juga batu.Â
Ini bukan hanya ledakan amarah biasa. Ini seperti luapan sesuatu yang sudah lama terpendam entah kekecewaan, sakit hati, atau mungkin rasa tak dianggap yang menumpuk sepanjang hidupnya.
"Pelaku merasa tidak diperhatikan saat berkunjung, lalu tersulut emosi dan melakukan penganiayaan terhadap ayahnya," - AKP Ngatimin.
Kalimat itu sederhana, tapi dalam. Karena siapa pun yang pernah merasa tak dilihat, tahu betapa menusuknya rasa itu. Terlebih jika itu datang dari orang yang kita panggil "ayah."
Apakah Ini Hanya Tentang Emosi yang Tak Terkendali?
Saya bertanya-tanya: bagaimana seorang anak bisa tega mengangkat tangan pada orang tua kandungnya? Apakah hanya karena merasa diabaikan? Rasanya terlalu dangkal untuk menjelaskan kekerasan sekeji itu.