"Ketika suara dari balkon Vatikan itu berkumandang ke langit, nurani dunia seperti digugah untuk bangun dari tidur panjangnya."
"Paus Leo XIV menyerukan perdamaian dunia dari balkon Basilika Santo Petrus."
Berita itu singgah ke layar ponsel saya. Saya membacanya perlahan. Awalnya hanya sebagai headline yang lalu begitu saja.Â
Tapi entah kenapa, kali ini saya tidak bisa mengalihkan pandangan. Seolah ada suara lirih dalam diri saya yang berkata: "Dengarkan baik-baik. Ini bukan hanya tentang Vatikan. Ini tentang kita semua."
Saya membaca berita itu bukan dari lensa keagamaan, melainkan dari sisi kemanusiaan. Karena pada titik tertentu dalam hidup kita, semua orang apa pun latar belakangnya pernah merasa letih.Â
Letih melihat dunia yang begitu mudah terbakar oleh amarah, dendam, dan prasangka. Letih menyaksikan kekerasan menjadi sesuatu yang biasa dan dijustifikasi.Â
Maka ketika seorang pemimpin agama berdiri dari tempat yang suci dan menyerukan satu kata paling sederhana namun paling sulit diwujudkan perdamaian saya merasa suara itu adalah suara kita semua.
Paus Baru, Seruan Lama yang Terasa Baru
Menurut Kompas.com (11 Mei 2025), dalam penampilan publik keduanya sejak terpilih sebagai pemimpin Gereja Katolik, Paus Leo XIV memimpin doa Regina Caeli dari balkon Basilika Santo Petrus di Vatikan dan menyerukan perdamaian dunia.Â
Ia meminta diakhirinya konflik bersenjata dan mengajak umat mendoakan rekonsiliasi global. Puluhan ribu umat Katolik berkumpul di Lapangan Santo Petrus, bersorak, berdoa, dan berharap.
Bagi sebagian orang, mungkin ini terdengar biasa. Seorang Paus bicara soal perdamaian bukankah itu bagian dari "skrip" mereka?Â