Bon di Warung, Nostalgia yang Kini Punya Versi Digital
Waktu kecil, saya sering diminta ibu untuk beli sembako di warung depan rumah. Kadang kami tak langsung membayar. Kami cukup bilang, "Bu, dibon dulu ya."Â
Dan si ibu warung akan mencatat di buku lusuhnya, dengan tulisan tangan yang kadang miring ke kiri. Tak ada bunga, tak ada denda. Hanya ada kepercayaan.
Kini saya hidup di zaman yang berbeda. Zaman di mana "bon" tak lagi di catatan buku warung, tapi berubah jadi satu fitur di aplikasi paylater.
Katanya untuk mempermudah. Katanya fleksibel. Katanya bisa jadi solusi darurat. Tapi, apakah benar begitu? Atau ada sesuatu yang tak terlihat di balik kemudahannya?
Paylater: Bon Versi Digital yang Lebih LicinÂ
Baru-baru ini, Kompas.com menyoroti fenomena paylater yang makin digandrungi generasi muda. Katanya praktis, hanya sekali klik, semua bisa didapat. Tapi benarkah praktis selalu berarti baik?
Menurut laporan OJK tahun 2024, jumlah pengguna layanan paylater meningkat hampir 2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Sebagian besar berasal dari kelompok usia 20 - 35 tahun.Â
"Kebutuhan mendesak", "diskon besar", dan "belanja impulsif" menjadi alasan terbanyak penggunaan layanan ini.
Saya jadi ingat kejadian beberapa tahun lalu. Seorang teman dekat pernah cerita, dia tergoda mengambil promo diskon besar lewat paylater.Â
Katanya hanya 100 ribu per bulan, ringan. Tapi karena diambil berkali-kali untuk barang-barang yang sebenarnya tak terlalu penting, akhirnya tagihannya menumpuk.
Paylater vs Bon Warung: Mana yang Lebih Berisiko?