"Perintah Ibu", mencatut nama, dan Harun Masiku. Tiga kata kunci yang kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap partai politik dan penegakan hukum di Indonesia. Apakah kita sedang menyaksikan proses hukum? Atau hanya panggung besar framing politik?
Dalam sidang kasus suap Harun Masiku, muncul sebuah frasa yang mengguncang banyak pihak: "perintah Ibu." Frasa ini kembali mencuat ketika Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI-P, diduga melalui seorang eks kader partai, Saeful Bahri, menitipkan pesan kepada Wahyu Setiawan untuk mengurus proses pergantian antar waktu (PAW) Harun Masiku ke DPR.
Terlebih, Agustiani Tio Fridelina, mantan anggota Bawaslu yang menjadi saksi dalam kasus ini, mengungkapkan bahwa ada percakapan mengenai pesan Hasto yang berisi perintah: "Ini perintah dari Ibu."
Banyak yang langsung berpikir bahwa ini adalah instruksi dari Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P. Namun, apakah ini benar-benar instruksi partai atau hanya sekadar "mencatut nama" demi kepentingan pribadi? Ini adalah pertanyaan besar yang terus dipertanyakan.
Ronny Talapessy, Ketua DPP PDI-P Bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional, dengan tegas menanggapi dugaan tersebut. Ia menyebut bahwa Saeful memang memiliki kebiasaan "mencatut nama", dan bahwa tidak ada bukti langsung yang menghubungkan tindakan tersebut dengan perintah dari pimpinan partai. Namun, di sinilah masalahnya. Mengapa Saeful, yang kerap mencatut nama orang lain, masih menjadi bagian dari perbincangan besar ini?
Apakah Saeful berperan dalam menjalankan "perintah Ibu" atas nama partai? Atau ini hanya sebuah kebetulan belaka? Ketiadaan bukti konkret dan hanya bergantung pada pengakuan saksi membuat narasi ini semakin kabur. Bagi publik, hal ini menambah ketidakpastian mengenai siapa yang benar-benar bertanggung jawab dalam kasus ini.
Antara Kebenaran dan Framing Politik
Kasus ini mengungkapkan bagaimana peran struktur partai dan praktik kekuasaan informal bisa saling tumpang tindih. Ketika Hasto Kristiyanto dan PDI-P berusaha menjelaskan bahwa mereka hanya menjalankan keputusan Mahkamah Agung, publik mendapati narasi yang terlalu sering dibingkai dengan kata-kata yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sepenuhnya.
"Perintah Ibu" tidak hanya menciptakan kesan bahwa ini adalah keputusan tingkat tinggi dalam partai, tapi juga memberikan gambaran tentang bagaimana kekuatan politik bisa disalahgunakan untuk tujuan tertentu.
Seperti yang sering terlihat dalam sejarah politik Indonesia, narasi serupa tentang instruksi dari "tokoh besar" atau "pihak berkuasa" sering digunakan untuk membingkai keputusan politik tanpa dasar yang jelas, yang akhirnya merugikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Namun, narasi ini tidak bisa diterima begitu saja. Ketika narasi ini tidak dibantah dengan bukti yang kuat, ketidakpercayaan publik akan semakin berkembang. Bukti yang kuat adalah dasar utama dalam sistem hukum yang demokratis, dan setiap narasi yang dibangun harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
PDI-P berusaha menjauhkan diri dari keterlibatan langsung, namun sikap defensif dan upaya untuk mengalihkan perhatian dengan menyalahkan individu-individu tertentu memperlihatkan betapa rapuhnya integritas dalam partai politik besar ini. Padahal, yang dibutuhkan saat ini adalah transparansi dan akuntabilitas, bukan permainan narasi.