Di ketinggian lebih dari tiga ribu meter di atas permukaan laut, ketika napas mulai berat dan langkah melambat, ada satu titik yang selalu dinanti oleh para pendaki Gunung Lawu. Bukan karena pemandangannya yang luar biasa, bukan pula karena kemegahan alam yang membentang. Tapi karena sebuah warung sederhana berdinding kayu, beratap seng yang menyimpan kehangatan tak tergantikan.
Di sanalah Mbok Yem menanti. Dengan tangan yang mulai keriput tapi tetap sigap menyajikan teh hangat, dan senyum ramah yang mampu mencairkan dinginnya kabut gunung. Ia bukan sekadar penjual makanan di puncak. Ia adalah pelita di antara sunyi, penjaga tradisi, ibu bagi ribuan jiwa yang pernah singgah.
Namanya mengalir dari mulut ke mulut pendaki. "Mampirlah ke warung Mbok Yem," kata mereka, seolah menyebut tempat suci yang harus disinggahi. Di tempat itu, letih berubah menjadi tenang. Rasa takut berganti menjadi rasa pulang.
Kini, kabar duka itu sampai juga: Mbok Yem telah berpulang. Di usia 82 tahun, beliau meninggal dunia di kampung halamannya di Magetan. Gunung Lawu kehilangan penjaganya. Kita kehilangan sosok sederhana yang menyimpan kekuatan luar biasa.
Namun warisan sejati tidak pernah benar-benar mati. Warung kecil itu mungkin tak lagi sama, tapi semangat yang ditinggalkan Mbok Yem akan terus hidup---dalam cerita, dalam kenangan, dalam setiap langkah yang menapaki jalur menuju Hargo Dalem.
Warung, Kehidupan, dan Warisan yang Menginspirasi
Nama aslinya Wakiyem, tapi dunia lebih mengenalnya dengan nama panggilan penuh kasih: Mbok Yem. Sejak puluhan tahun lalu, ia memilih hidup di tempat yang tidak biasa puncak Gunung Lawu, tepatnya di Hargo Dalem, hanya sekitar 100 meter dari titik tertinggi gunung itu. Di ketinggian itu, ia membangun sebuah warung kecil, tempat di mana raga yang lelah bisa beristirahat, dan jiwa yang sepi bisa merasa diterima.
Banyak yang bertanya, "Apa tidak takut tinggal sendiri di atas gunung?" Tapi Mbok Yem selalu menjawab dengan tenang. Baginya, Gunung Lawu bukan tempat asing. Ia bukan hanya tanah pijakan, tapi juga rumah. Mbok Yem adalah bagian dari gunung itu, dan gunung itu menjadi bagian dari dirinya.
Setiap hari, beliau memasak, menjerang air, menyapu, dan menyambut siapa pun yang datang tanpa memandang asal-usul, agama, atau latar belakang. Ia menyapa semua orang dengan senyum yang sama: tulus, hangat, dan mengayomi. Di tengah kabut dan dingin yang menggigit, keberadaan Mbok Yem seperti titik cahaya yang membuat banyak pendaki merasa tak benar-benar sendirian.
Warung itu bukan hanya tempat makan. Ia menjadi tempat berbagi cerita, tempat merenung, bahkan tempat memaknai hidup. Banyak pendaki yang berkata, "Kalau bukan karena Mbok Yem, mungkin aku sudah menyerah di tengah jalan."Â
Ia bukan motivator, bukan juga tokoh publik. Tapi tindakannya sehari-hari mengajarkan kita tentang konsistensi, ketulusan, dan cinta terhadap sesama.