Masih lekat dalam ingatan saya, satu momen sederhana namun menentukan itu: hari di mana guru wali kelas membagikan selembar kertas formulir berjudul "Pemilihan Jurusan". Suasana kelas yang biasanya riuh langsung berubah hening. Beberapa teman langsung menandai pilihan mereka dengan mantap, seolah sudah tahu persis arah hidup mereka. Tapi saya? Jari saya justru diam mematung di atas kolom pilihan.
"Pilih jurusan IPA atau IPS?" pertanyaan itu terasa jauh lebih rumit dari yang saya bayangkan. Bukan karena saya tidak punya minat. Justru karena saya menyukai dua hal yang berada di jalur berbeda. Di satu sisi, saya terpikat dengan Biologi. Saya kepingin mengenal cara kerja tubuh manusia, misteri genetik, dan segala tentang kehidupan begitu memikat saya. Tapi di sisi lain, hati saya berdebar tiap kali belajar Bahasa Indonesia: membahas puisi, cerpen, dan membaca hasil-hasil karya dari sastrawan Indonesia.
Orang tua saya lebih condong mendorong saya ke IPA. "Biar bisa jadi dokter," kata mereka. Tapi di dalam hati, saya mulai bertanya-tanya: "Kalau saya lebih bahagia mengamati tren pasar daripada struktur sel, apakah itu salah?"
Saya tahu saya tidak sendiri. Banyak siswa di luar sana menghadapi dilema yang sama: ketika minat, nilai akademik, harapan keluarga, dan sistem pendidikan seolah saling tarik-menarik. Bahkan ada yang akhirnya "menyerah" dengan alasan sederhana: "Ikut-ikut teman saja." Padahal, keputusan ini akan membentuk arah masa depan setidaknya untuk tiga tahun ke depan di SMA, bahkan bisa lebih jauh lagi.
Kini, setelah waktu berjalan, saya pun mulai bertanya ulang: apakah sistem penjurusan di SMA benar-benar membantu siswa mengenali potensinya, atau justru membatasi mereka dalam kotak-kotak pilihan yang terlalu sempit?
Mengapa Penjurusan Penting untuk Dibahas?
Penjurusan di SMA bukan sekadar proses administratif untuk menyusun jadwal pelajaran. Lebih dari itu, ia adalah bentuk pengkategorian dini terhadap potensi dan arah belajar siswa. Biasanya, penjurusan dilakukan ketika siswa memasuki kelas XI, dengan pilihan utama seperti IPA, IPS, dan Bahasa meski beberapa sekolah mulai menawarkan variasi jalur atau peminatan lintas jurusan.
Secara ideal, penjurusan bertujuan memfokuskan siswa pada bidang yang paling sesuai dengan minat, bakat, dan rencana masa depan mereka. Misalnya, siswa yang bercita-cita menjadi insinyur sebaiknya masuk jurusan IPA, sedangkan yang ingin menekuni hukum lebih cocok di IPS. Tapi dalam praktiknya, pemilihan jurusan sering kali tidak sesederhana itu.
Banyak siswa masih dalam tahap pencarian jati diri saat mereka diminta membuat keputusan besar ini. Beberapa belum tahu apa yang benar-benar mereka minati. Yang lain justru menyukai lebih dari satu bidang, seperti saya dulu. Ada juga siswa yang dipengaruhi tekanan luar: nilai akademik yang dianggap tidak cukup "pantas" untuk jurusan tertentu, ekspektasi orang tua yang ingin anaknya masuk IPA, atau bahkan stigma bahwa IPS hanya untuk siswa "pas-pasan."
Ditambah lagi, tidak semua sekolah memberi ruang fleksibel. Sistem pembelajaran terkadang terlalu kaku, seolah seorang siswa IPA tidak boleh menyukai Sosiologi, atau anak IPS tak perlu tahu Kimia. Padahal, realitas dunia saat ini justru menuntut manusia yang mampu berpikir lintas disiplin.
Dalam beberapa tahun terakhir, wacana soal evaluasi sistem penjurusan semakin menguat. Ada diskusi mengenai perlunya pendekatan yang lebih adaptif, lebih personal, dan memberi ruang eksplorasi minat tanpa sekat terlalu dini. Bahkan dalam beberapa kebijakan terbaru, mulai dikenalkan sistem peminatan dengan opsi lintas jurusan. Namun, lagi-lagi, penerapannya tidak merata dan kadang justru membingungkan siswa.