Investasi tanah bukan hanya tentang keuntungan, tapi juga kesabaran. Tanah lebih stabil daripada FOMO emas yang cepat terpengaruh tren.
Saya bukan tipe orang yang rajin menabung dalam jangka panjang di bank. Bukan karena tak percaya, tapi karena saya lebih suka hal-hal yang bisa saya lihat dan pegang langsung. Jadi ketika suatu waktu ada orang menawarkan sebidang tanah, saya beli saja. Tanpa banyak pertimbangan, tanpa hitung-hitungan rumit. Sekadar merasa, "Kalau bukan sekarang, kapan lagi bisa punya tanah?"
Waktu itu, saya belum tahu apa itu FOMO investasi, apalagi FOMO emas. Bahkan sampai sekarang istilah ini masih agak asing bagi saya. Saya bahkan tak pernah terpikir ikut-ikutan tren investasi apa pun. Yang saya tahu, tanah tidak bisa dicetak ulang, dan makin lama makin langka. Itu saja sudah cukup jadi alasan bagi saya.
Tulisan ini bukan panduan profesional, bukan juga nasihat keuangan. Ini hanyalah catatan dari seseorang yang pernah membeli tanah tanpa strategi besar, tapi ternyata menemukan banyak pelajaran dan keuntungan darinya pelan-pelan, diam-diam, tapi pasti.
Saat banyak orang memilih emas sebagai bentuk perlindungan terhadap inflasi atau simpanan yang mudah dicairkan, saya justru lebih tenang dengan pilihan saya: tanah. Bukan karena saya anti terhadap emas, tapi karena saya merasa lebih cocok dengan investasi yang sifatnya jangka panjang, pasif, dan tidak mudah tergoda untuk diambil sewaktu-waktu.
Mengapa Saya Memilih Tanah di Saat Orang Lain Memilih Emas
Saya sadar, emas memang praktis. Bisa dibeli per gram, disimpan dalam bentuk fisik maupun digital, dan sangat likuid. Tapi justru karena itu, saya khawatir tidak akan tahan godaan untuk mencairkannya saat butuh dana mendadak. Tanah, bagi saya, memberi "rasa aman" yang aneh karena ia tidak bisa dijual secepat emas, tapi justru itu yang membuat saya bersabar dan memikirkan strategi jangka panjang.
Pilihan saya membeli tanah waktu itu bukan karena tahu pasar akan naik. Bahkan saya tidak tahu apakah harga tanah di lokasi itu akan berkembang cepat atau tidak. Tapi saya percaya pada sifat dasarnya: tanah tidak bisa bertambah jumlahnya, sementara manusia dan kebutuhan akan ruang terus bertambah. Itu saja cukup jadi pegangan.Dan seiring waktu berjalan, ternyata keyakinan itu tidak salah.
Proses, Tantangan, dan Hasil yang Saya Dapatkan
Tanah pertama yang saya beli tidak luas, letaknya pun tidak di pinggir jalan besar atau di kawasan strategis. Tapi saya suka suasananya yang tenang, agak jauh dari keramaian. Setelah resmi jadi milik saya, saya tidak langsung membangun apa-apa di atasnya. Justru, saya menanami sebagian besar lahan itu dengan pohon jati.
Bukan tanpa alasan. Waktu itu saya berpikir, kalau saya tidak punya rencana membangun dalam waktu dekat, mengapa tidak ditanami sesuatu yang bisa berguna dalam jangka panjang? Pohon jati termasuk jenis kayu keras yang punya nilai ekonomi tinggi dan makin hari makin langka. Butuh waktu bertahun-tahun hingga ia bisa dipanen, tapi saya justru merasa itu selaras dengan semangat tanah sebagai investasi jangka panjang: tidak terburu-buru, tidak spekulatif, tapi mengakar.
Selama bertahun-tahun, saya merawatnya secara sederhana. Sesekali dibersihkan, diberi pupuk, dan dibiarkan tumbuh alami. Banyak orang bilang saya aneh, punya tanah kok malah ditanami pohon. Tapi saya tetap percaya: tanah yang ditanami pohon jati bukan hanya akan menghasilkan nilai ekonomi, tapi juga memberi udara segar, keteduhan, bahkan kepuasan batin.