Penjurusan di SMA itu tidak bisa dianggap enteng. Soalnya keputusan ini bakal memengaruhi arah pendidikan dan karir siswa di masa depan.Â
Di Indonesia, sistem penjurusan seringkali didasarkan pada nilai akademik, tanpa memperhitungkan minat atau potensi pribadi. Jadi, banyak siswa yang terpaksa memilih jurusan IPA, IPS, atau Bahasa, berdasarkan hasil ujian, bukan karena mereka benar-benar tertarik di bidang itu.
Kenapa bisa begitu? Banyak siswa yang akhirnya memilih jurusan karena nilai mereka mendukung pilihan tersebut, meski sebenarnya tidak tertarik. Padahal, ini bisa berujung pada keputusan yang salah, yang berdampak besar pada pilihan kuliah, bahkan karir nanti.
Masalah yang Sering Terjadi
Masalahnya, ketika penjurusan lebih fokus ke nilai akademik daripada potensi dan minat, banyak siswa yang kehilangan motivasi belajar.Â
Kita bisa bayangkan ketika kita harus belajar untuk jurusan yang sebenarnya tidak kita suka. Ini bukan cuma bikin stres, tapi juga bisa mempengaruhi pilihan jurusan kuliah dan pekerjaan yang akhirnya tidak sesuai dengan passion.
Jadi, pertanyaannya adalah, bagaimana caranya supaya sistem penjurusan di SMA ini lebih mencerminkan minat dan potensi siswa? Biar mereka bisa siap memilih jalur pendidikan dan karir yang tepat di masa depan.
Akar Masalah: Pengalaman Pribadi
Dulu, saya juga sering merasa tertekan karena sistem penjurusan yang terlalu mengutamakan nilai. Misalnya, saya suka menggambar dan berkarya, tapi malah dipaksa memilih jurusan Bahasa hanya karena nilai Bahasa Indonesia saya cukup bagus.Â
Rasanya kayak nilai ujian itu jadi segalanya, sementara minat saya tidak dihargai.
Bukan cuma saya, banyak teman-teman juga merasakan hal yang sama. Mereka terpaksa masuk jurusan yang tidak sesuai dengan minat, hanya karena nilai yang mereka dapatkan dianggap cukup. Seharusnya, penjurusan bukan cuma soal angka-angka di rapor, tetapi juga tentang minat dan potensi diri.
Saya juga merasa bimbingan dari guru BK dan orang tua pada saat itu kurang sekali. Kadang saya merasa harus memilih jurusan sendiri tanpa ada yang benar-benar membantu saya untuk menggali minat dan potensi diri. Guru BK meskipun ada, sering lebih sibuk dengan urusan administratif, dan orang tua pun lebih fokus ke nilai yang dianggap "aman" untuk masa depan.