Di era digital yang semakin berkembang dan canggih ini, gadget seperti smartphone, tablet, dan sebagainya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk bagi anak-anak. Fenomena ini memberikan dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk cara dalam berinteraksi, belajar, dan bermain.Â
Teknologi memang membawa berbagai kemudahan dan hiburan, namun di balik semua itu, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan yaitu, semakin punahnya tradisi atau permainan tradisional dan berkurangnya interaksi sosial anak.Â
Banyak anak sekarang lebih memilih bermain game di layar daripada bermain di luar bersama teman-temannya. Aktivitas seperti petak umpet, congklak, gobak sodor, dan kelereng yang dahulu begitu akrab di lingkungan anak-anak Indonesia, kini nyaris menghilang, bahkan di pedesaan sekalipun.Â
Permainan yang dulunya menjadi bagian penting dalam pembentukan karakter generasi penerus bangsa kini terancam tergantikan oleh gadget. Anak-anak zaman sekarang cenderung lebih tertarik pada permainan digital yang menawarkan pengalaman visual menarik dan kesenangan instan.Â
Sayangnya, jenis permainan ini tidak melatih kemampuan interaksi langsung, kerja sama, atau komunikasi antar teman. Padahal, permainan tradisional menyimpan banyak nilai edukatif dan budaya yang sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak.Â
Melalui permainan tradisional, anak-anak tidak hanya belajar bersosialisasi dan berempati, tetapi juga mengembangkan kreativitas, strategi berpikir, hingga sportivitas. Kehilangan permainan-permainan ini berarti juga kehilangan wahana pembelajaran karakter yang sangat berharga.
Fenomena ini tidak terlepas dari peran orang tua dalam pola asuh masa kini. Di tengah kesibukan dan tekanan hidup, banyak orang tua cenderung memberikan gadget kepada anak sebagai solusi cepat untuk meredakan kebosanan atau rengekan tangis anak.Â
Tanpa disadari, kebiasaan ini menciptakan ketergantungan digital sejak usia dini. Anak-anak yang seharusnya aktif bergerak, berlarian, dan bermain di luar, kini lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah menatap layar. Pola ini bukan hanya berdampak pada kesehatan fisik anak, tetapi juga pada perkembangan sosial, emosional, dan nilai-nilai moral mereka.
Hilangnya kebiasaan bermain secara langsung juga berdampak pada pembentukan karakter bangsa. Sebagai negara yang menjadikan Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa, nilai-nilai seperti kemanusiaan, persatuan, keadilan sosial, dan gotong royong sejatinya tumbuh dari interaksi sosial yang intens sejak usia dini.Â
Nilai-nilai tersebut sangat mungkin ditanamkan melalui permainan tradisional, di mana anak-anak belajar berkompetisi secara sehat, menyelesaikan konflik, menghargai aturan, dan bekerja sama dalam kelompok. Tanpa pengalaman sosial semacam itu, generasi muda berisiko tumbuh menjadi individu yang individualis dan kurang memiliki kepekaan terhadap lingkungan sosialnya.
Salah satu contoh nyata dari persoalan ini bisa saya lihat sendiri di tempat tinggal saya, Kampung Baru, Kecamatan Ijen, Kabupaten Bondowoso. Dulunya di desa ini, setiap sepulang sekolah apalagi di hari libur anak-anak selalu memenuhi jalanan dan halaman rumah untuk bermain bersama. Mereka bermain karet, bentengan, atau hanya sekadar lari-larian sambil tertawa lepas.Â