Mohon tunggu...
Romeyn Perdana Putra
Romeyn Perdana Putra Mohon Tunggu... Dosen - Keterangan Profil

Peneliti PNS Dosen Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kearifan Lokal

17 Juni 2013   11:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:54 5312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
major ethnics imam prasodjo.jpg

ALTERNATIF SOLUSI KONFLIK DAN RADIKALISME

DENGAN KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM / LOCAL GENIUS)

Romeyn Perdana

A.Pendahuluan

Dunia dan Bangsa Indonesia saat ini sedang berproses Globalisasi dengan berpikir dari Bipolar kedalam multi Polar, dan revolusi pemerintahan dari sentralistik ke Desentralistik, yang saat ini dirasakan masih lemah dan kurang efektif dalam menjalankan Otonomi Daerah dalam sistem Pemerintahan Indonesia. Daerah menjadi mandiri dalam hal politik dan sosial budaya. Sisa-sisa sentralistik masih dapat kita temui di daerah. Namun masing-masing daerah memiliki ciri sosial budaya masing-masing. Oleh karena itu tulisan ini berupaya menggugah pentingnya kearifan lokal sosial budaya daerah desentralistik.

Kearifan Lokal disini dapat diterjemahkan sebagai Local Wisdom (definisi kamus) dan atau Local Genius (istilah antropologi yang dipopulerkan oleh Quaritch Wales[1]). Dari sisi penafsiran disepakati, makna dari Kearifan lokal yakni, terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Keragaman seni, budaya, bahasa dan etnis Indonesia dapat digambarkan dalam tabel hasil sensus tahun 2000 berikut ini:

Teori sosial menegaskan bahwa semakin homogen suatu negeri , semakin kecil potensi konflik yang akan terjadi. Dari penggambaran tabel diatas,menjadi lumrah bahwa Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat paham akan wajah konflik dengan berbagai bentuk dan dimensinya. Potensi konflik dan radikalisme memang rentan terjadi di Indonesia. Sehingga setelah lengser-nya era Presiden Soeharto (orde baru: stabilitas, pertumbuhan dan ekuitas), maka konflik dan radikalisme merajalela bak jamur dimusim hujan. Namun solusi masalah masih belum optimal dalam menyelesaikannya. Sehingga perlu adanya kemampuan lokal atau cara-cara “dari dalam” untuk mendapatkan solusi sebelum konflik atau radikalisasi tersebut mencuat keluar dan menelan korban.

Dalam tujuan yang termaktub dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tertulis keinginan luhur Negara untuk menjadi Negara yang modern (modern nation / state). Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta aktif dalam percaturan dunia. Dengan dasar Pancasila dan sesanti ke-bhinneka tunggal ika-annya. Suku-suku (ethnics) yang bertebaran seantero nusantara perlu kembali melihat ke dalam, melihat diri dan lingkungannya (inward looking). Dari sisi Jumlah suku dan populasi penyebarannya Disepakati bahwa pembatasan kearifan lokal disini, yaitu kearifan yang dianggap baik dan teruji benar hingga dapat bertahan lama dan melembaga[2].Indonesia, Negara dengan multikultur, multi etnis dan multi agama. Penggambaran oleh sosiolog Imam Prasodjo memaparkan kebhinekaan Indonesia sebagaimana tertera dibawah ini.

Sumber : Presentasi Imam Prasodjo di Lemhannas RI diperoleh tanggal 19 Maret 2013

Penyebaran penduduk sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa. Asimilasi ataupun munculnya budaya popular terjadi di pulau Jawa. Nikah campur, adanya pluralisme menjurus kepada multikulturalisme telah dicoba dijawab dengan sesanti “ke-bhinekaan”. Namun benih konflik dan radikalisme tidaklah mudah untuk diminimalkan.

B.Konflik, Radikalisme, Kearifan Lokal dan Pembahasan

Sejarah terbentuknya negara Indonesia sebagai wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang dilakukan oleh pendiri bangsa (founding nation) tidak terlepas dari pengetahuan tentang konsepsi nation antara lain dari pendapat:Ernest Renan dan Otto Bauer.

Renan mengatakan bahwa : ”Sebuah bangsa adalah satu solidaritas yang besar yang tidak harus memerlukan satu bahasa, satu agama atau satu turunan yang menjadi pengikat. Yang paling penting adalah pengikat jiwanya berkehendak untuk hidup bersama”.

Bandingkan dengan pendapat Otto Bauer yang mengatakan bahwa: ”Bangsa adalah satu persamaan, suatu persatuan karakter, watak yang tumbuh dan lahir karena kesamaan pengalaman”.

Dengan demikian konsepsi nation yang digunakan oleh founding fathers dan mothers adalah nation yang berarti suatu entitas politik yang terdiri dari warga negara yang walaupun berbeda latar belakang ras, etnik, agama, budaya, golongan satu sama lain, namun punya kehendak yang kuat untuk bersatu, dibawah payung negara nasional dan di dalam suatu wilayah. Terkait kearifan lokal dalam tulisan ini, adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal yang mengandung sikap, pandangan, dan kemampuan suatu masyarakat di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya. Semua itu, sebagai upaya untuk dapat memberikan kepada warga masyarakatnya suatu daya tahan dan daya tumbuh di wilayah di mana masyarakat itu berada.

Dalam wacana kebudayaan dan sosial, sulit untuk mendefinisikan dan memberikan batasan terhadap budaya lokal atau kearifan lokal, mengingat ini akan terkait teks dan konteks, namun secara etimologi dan keilmuan, tampaknya para pakar sudah berupaya merumuskan sebuah definisi terhadap local culture atau local wisdom ini. Berdasarkan visualisasi kebudayaan ditinjau dari sudut stuktur dan tingkatannya. Berikut adalah pengkategoriannya :

1.Superculture, adalah kebudayaan yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Contoh: kebudayaan nasional;

2.Culture, lebih khusus, misalnya berdasarkan golongan etnik, profesi, wilayah atau daerah. Contoh : Budaya Sunda, Budaya Minang dan Budaya Batak

3.Subculture, merupakan kebudayaan khusus dalam sebuah culture, namun kebudyaan ini tidaklah bertentangan dengan kebudayaan induknya. Contoh : budaya gotong royong

4.Counter-culture, tingkatannya sama dengan sub-culture yaitu merupakan bagian turunan dari culture, namun counter-culture ini bertentangan dengan kebudayaan induknya. Contoh : budaya individualisme.

Indonesia dimana terdiri dari masyarakat yang bersifat manajemuk dalam stuktur sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi. Tulisan ini lebih menitikberatkan kajiannya kepada subculture dan counter culture. Guna membatasi kompleksnya permasalahan kearifan lokal nasional.

Pembahasan Radikalisme dan Konflik

Beberapa ahli mendefiniskan konflik dengan penafsiran berikut ini,

Lewis A. Coser :

“Perselisihan mengenai nilai nilai atau tuntutan tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber sumber kekayaan yang persediaannya terbatas”.

Leopod Von Wiese :

Suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan”.

R.J. Rummel : “konfrontasi kekuasaan atau kekuatan sosial”.

Duane Ruth-hefelbower : “kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan tindakan salah satu pihak menghalangi, atau mencampuri atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil”.

Kata kunci nan dapat dipetik dari definisi-definisi konflik diatas, konflik berkaitan dengan kata-kata: perselisihan, pertentangan, konfrontasi dan perbedaan yang terjadi dalam kekuatan-kekuatan sosial yang dipengaruhi oleh kekuasaan (politik).

Tahun 2011, di Eropa khususnya Oslo Norwegia, dunia tersentak oleh berita pembantaian paling berdarah yang dilakukan Anders Behring Breivik[3]. Sejumlah 92 (sembilan puluh dua) orang tewas di ibukota Oslo dan Pulau Utoya hari Jumat (22/7) tengah hari waktu setempat. Pembantaian berdarah di Norwegia ini, dilakukan oleh kandidat PhD, serta merta mematahkan kesimpulan bahwa radikalisme ataupun terorisme gampang disusupi pada usia muda dengan ekonomi dan tingkat pendidikan pas-pasan. Atau di Negara berkembang dengan keruncingan jurang sosial (social gap) nan lebar. Konflik berujung radikalisasi inilah yang kiranya dapat dikurangi dengan kearifan local.

Alasan yang disampaikan oleh Breivik seperti yang dikutip dari media menyatakan bahwa pembantaian yang dilakukan perlu untuk mengembalikan kejayaan Eropa dan purifikasi bangsa Eropa. Tanpa rasa berdosa ia lalu menyerahkan diri kepada pihak berwajib dan menjadi pelaku tunggal dalam tragedi ini. Radikalisme juga dilakukan individu yang memiliki tingkat edukasi tinggi (Kandidat PhD), penganut agama kristiani dan hidup di Negara homogen nan modern serta terbuka terhadap multikulturalisme. Hal-hal tersebut rupanya tidak menjamin individu/pribadi terhindar dari provokasi dan pikiran-pikiran radikalisme.

Kembali kepada kearifan lokal, John Haba memandang kearifan lokal adalah beragam kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dikenal dalam suatu masyarakat, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial diantara warganya (Haba, 2007:11). Poin yang dapat diambil adalah kearifan lokal individu timbul dari budaya kolektif yang dikenal luas secara turun temurun, dipercayai sebagai tempat pengaduan / curhat anggotanya untuk menyelesaikan masalah, serta diakui baik tertulis maupun tidak tertulis oleh anggota masyarakatnya sebagai panduan berkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi[4], dalam suatu kesempatan mengeluarkan gagasannya untuk mengembalikan kearifan lokal dalam hal ini masyarakat adat dalam menyelesaikan persoalan komunitas masyarakat lokal/adat. Pada masa sebelum pemerintahan tingkat desa dilebur menjadi kelurahan dan kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi. Masyarakat desa mengenal hirarki adat budaya masing-masing. Struktur sosial budaya ini secara perlahan memang kehilangan legitimasinya untuk dihadapkan kepada ranah hukum Negara. Hukum adat tertinggal, hanya satu provinsi yang masih kuat dalam implementasi hukum adatnya, yakni Bali. Keramat wibawanya para Datuk di minangkabau atau kearifan Pela gandong di Maluku tertinggal untuk bertahan dalam riuhnya globalisasi.

Datuk-datuk di minangkabau pada masa jayanya (golden ages) adalah tempat bertanya dan berkeluh kesahnya anggota komunitasnya untuk menyelesaikan masalah. Permasalahan, konflik sosial dan pertikaian antar kampung tidak serta merta masuk dalam ranah penegakan hukum. Pertikaian dan konflik dapat diredam dengan musyawarah mufakat dalam tingkatan komunitas. Radikalisme diredam pada level yang masih dianggap aman.

Formulasi, metoda dan strategi dalam implementasinya tentu memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Namun wacana yang dibangun oleh Kementerian Dalam Negeri layak mendapat porsi perhatian khusus dalam mendayagunakan kearifan lokal.

C.Simpulan dan Rekomendasi

Setelah bergulirnya reformasi, otonomi daerah diberlakukan. Terjadi gegar otonomi terhadap demokrasi reformasi pemerintahan desentralistik. Konflik adalah hal yang lazim terjadi diberbagai Negara dan bangsa. Bahkan berbagai teori sosial belum sepenuhnya mampu menjawab solusiperilaku konflik. Hingga konflik yang menuju radikalisme hanya dapat diredam dan didamaikan. Salah satu budaya nasional yang masih bertahan dan melembaga saat ini dapat dikategorikan sebagai kearifan lokal.

Kearifan lokal sebagai solusi meredam konflik agar tidak menuju radikalisme menjadi kajian dalam tulisan ini. Budaya daerah yang telah lama diyakini dan menjadi penyelarasan hidup antara manusia-manusia, maupun selarasnya manusia-alam. Kearifan lokal dapat dikatakan sebagai melihat kedalam (inward looking), menelaah diri dan lingkungannya. Kearifan lokal ini telah lama ada, namun seiring perkembangannya kehilangan kepercayaan, kurang dikenali lagi oleh komunitas dan dalam penerapan tidak diakui (pada sebagian daerah).

Penerapan kearifan lokal bukan tidak diperhatikan oleh pemangku kepentingan. Pemerintah telah menetapkan kebijakan strategisnya. Kesiapan para pemangku adat budaya di daerah untuk tetap atau mengadopsi kearifan lokalnya sendiri. Penegakan hukum Negara dalam penyelesaian masalah komunitas (menangkap nenek pencuri kakao, remaja yang ditangkap karena mencuri sandal) perlu dikaji lebih lanjut.

Legitimasi pemimpin-pemimpin sosial budaya (pemangku adat) agar direvitalisasi untuk mempertegas dan memberdayakan daerah menjadi mandiri dan desentralis. Para pemimpin didaerah tidak hanya pemimpin hasil pilkada, namun pimpinan adat juga memiliki wibawa. Karena penyelesaian konflik dapat saja diredam pada level komunitas, tidak berakumulasi dan dipendam, berharap konflik ini berlalu, namun sewaktu-waktu akan tersulut kembali. Namun bila berulang-ulang akan tersulut meluas menjadi radikalisme yang akhirnya menelan korban. Disaat itulah kearifan sudah hilang.

[1] Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya,Jakarta

Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (Ayatrohaedi:1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19)

[2] Contohnya Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) di masyarakat Minangkabau, Suku Tengger di Probolinggo, Kejawen di Jawa, Tolotang di Sulsel, Kaharingandi Pulau Kalimantan, Marapu di Pulau Sumba dan berbagai konsep kearifan lokal yang masih bertahan atas inisiatif lokal, namun tetap bertahan di era global.

[3] Republika 25 Juli 2011 Hal 11

[4] http://www.kemendagri.go.id/article/2011/10/12/menggelitik-adat-istiadat-dan-nilai-budaya-sosial-dalam-pembangunan-masyarakat-dan-desa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun