Mohon tunggu...
Romeyn Perdana Putra
Romeyn Perdana Putra Mohon Tunggu... Dosen - Keterangan Profil

Peneliti PNS Dosen Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gambut Khatulistiwa 2018

14 April 2018   11:19 Diperbarui: 14 April 2018   11:32 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bersahutannya gareng pung atau kinjeng tangis sudah mulai terdengar. Jeritan pilunya seperti mengumumkan inilah penghujung musim hujan. Bagi komunitas tertentu, cuitan itu bermakna banjir telah akan surut, para pengungsi banjir pulanglah kembali. Sebagian lainnya mengartikannya sebagai persiapan membersihkan lahan dan hutan. Bagi petani di lahan gambut, mereka sikapi sebagai amaran untuk bercocok tanam di tanah lepasan sungai mengering. Lahan tani di Jawa telah menerapkan bercocok tanam dengan pola menetap, berbeda dengan Kalimantan dan Sumatera. Petani subsisten disana, lebih mengandalkan pupuk alami tanah gambut untuk bercocok tanam.

Gambut akan men-dekomposisikan tidak sempurna semua buangan alam dan non alam. Maknanya, materi itu tetap tidak terurai namun disimpan dalam waktu lama. Sehingga budaya membuang sampah ke sungai adalah warisan nenek moyang dikala gambut hanya menampung sampah organik.  Syair kolam susu; dimana tongkat kayu dapat tumbuh jadi tanaman pun sebenarnya nyata ada karena gambut. Eksotisme gambut juga tampil dalam bentuk ladang berpindah (slash and burn). Tak perlu pupuk buatan, bercocok tanamlah di lahan gambut maka ia akan tumbuh. Berbeda dengan lahan berbukit dan gunung, lahan gambut menutrisi dirinya dari rebahan pohon mati, rontokan daun, tumpukan bangkai hewan, hingga tendon air sebagai unsur pelapuknya. Sebuah mekanisme otomatisasi hijau berkelanjutan. Nostalgia kita terhadap gambut adalah nostalgia tentang zamrud khatulistiwa.

Bertolak belakang dengan penggambaran zamrud masa silam nan hijau dan menyejukkan mata, kini peta kepulauan Indonesia telah rapuh dipantik bencana. Equilibrium bencana gambut akibat kondisi modern merubah refleks gambut sebagai bentang lahan firdaus (surgawi), menjadi bermuka dua. Saat musim hujan banjir bandang dan saat musim kering menabur jerabu menyesakkan dada. 

Tesis lain menyatakan bahwa bencana alam gambut dapat berupa proses linier menuju bencana non alam, lalu berpotensi menjadi bencana sosial dan wujud angkernya adalah musibah ketahanan nasional. Berbagai mitigasi dan kecanggihan rekayasa peringatan dini dan tanggap bencana telah menjadi persiapan tahunan oleh pemerintah, pengusaha pertanian dan masyarakat. Gambut Khatulistiwa pada 2018 terancam mengalami bencana terburuknya.

Persiapan Asian Games 2018 di dua kota Palembang dan Jakarta termasuk spekulasi risiko Gambut Khatulistiwa. Dimana AG2018 dilaksanakan bersamaan dengan musim kering dan rawan terbakar hebat. Walaupun diprakirakan minus osilasi selatan El Nino (BMKG: 2018). Mendeteksi hotspotmelalui penginderaan jauh dan membasahi terus gambut lewat sistem manajemen air di Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG), telah sedikit banyak mengurangi asap dari kebakaran tak terkendali. Walaupun pada dua tahun terakhir keberhasilan itu didukung curah hujan tinggi. Tahun ini BMKG memperingatkan kekeringan berbeda.

Ada perdebatan menguat, apakah kebakaran akibat murni ulah manusia, atau ada sumber api endogen yang memicu kebakaran. Belum dapat dipastikan kebakaran hutan tajuk di California Amerika Serikat dipenghujung tahun 2017 atau beken dengan nama Api Thomas, merupakan api akibat kelalaian manusia atau murni akibat tajuk pohon yang mengering dan terbakar. Namun semua akan sepakat bahwa di California AS tidak terdapat petani subsisten yang membersihkan lahan lewat membakar. 

Tidak ada calo lahan yang memperjualkan surat konversi hutan dan membakar. Tapi dampak Kebakaran Hutan Thomas melampaui kehebatan kebakaran hutan Indonesia pada tahun 2015 dengan luas kebakaran "hanya" 2 juta hektar. Sedangkan kebakaran hutan AS tercatat di tahun 2017 mencapai 4 juta hektar. Uniknya, unsur indeks pencemaran kualitas udara tercatat jauh berbeda.   

Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) kebakaran gambut di Indonesia disandingkan Api Thomas sama-sama berlevel diatas 400 (standar indeks kategori InfoDATIN Kemenkes RI). Kebakaran California tercatat memperburuk kualitas udara hingga 486. Walaupun dengan level 201 saja sudah dalam kategori kadar kualitas udara sangat tidak sehat. Berbeda dengan kebakaran tajuk California AS, kebakaran di 6 Provinsi diperkaya kepekatan asapnya dengan turut terbakarnya lahan gambut. 

Tercatat indeks kualitas udara di tahun 2015 bulan Oktober mencapai level 2230 di Kalimantan Tengah. Perbandingan California dan Kalimantan Tengah bisa jadi ibarat membandingkan timun dengan durian, tidak setara. Tapi maknanya adalah kebakaran di musim kering adalah suatu ancaman lokal rasa global dengan eskalasi gambut sebagai penambah kualitas bencananya.

Proyek Lahan Gambut (PLG) Kapuas adalah salah satu tonggak dosa sejarah pemerintah dalam konfirmasi proposisi bahwa ekonomi tak akan harmonis dengan lingkungan. Sedangkan secara ekonomi kita masih berusaha untuk maju dalam industri pertanian. Mendegradasi lingkungan adalah metode tunggal untuk mencapai industrialisasi seperti dilakukan Negara maju dulu. Di sisi lain, Negara telah meratifikasi Paris Agreement dengan kerangka kerja mengurangi emisi rerata 38% (UU no. 16 tahun 2016). Sungguh sebuah kerja keras pemerintah untuk mengharmoniskan penguatan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

 Ditengah keriuhan pembangunan infrastruktur, kajian lingkungan menjadi signifikan. Tahun 2015 adalah klimaks dari ketergesaan konversi industrialisasi lahan gambut sebagai wilayah budidaya. Gambut dilupakan faedah dan manfaatnya bagi lingkungan demi berkibarnya ekonomi. Kanal sudah digali, air sudah dibagi-bagi kemana mengalirnya. Lahan sudah ditanami, pabrik dan kilang sudah berdiri. Penulis pun yakin kebakaran sejak 20 tahun lalu sudah meresap jelas mudharatnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun