Mohon tunggu...
Eva Rosita
Eva Rosita Mohon Tunggu... Lainnya - Art and Education

Art, Linguistics, and Education

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Mengupas Sisi Psikologis Joker

6 Oktober 2019   10:22 Diperbarui: 11 Oktober 2019   23:29 5745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Film Joker (Niko Tavernise/Warner Bros. Pictures via AP)

Penayangan film produksi Warner Bros, Joker, memang tengah menuai kontroversi. Dibandingkan dengan versi sebelumnya yang diperankan oleh Heath Ledger dan Jared Leto, penguasaan karakter supervillain yang direpresentasikan oleh Joaquin Phoenix memang terasa lebih intens. 

Selama 2 jam 2 menit,  para penikmat film yang bahkan sudah membeli tiket presale terhanyut dalam sisi dramatis yang membentuk karakter Joker menjadi tidak merasakan apapun bahkan setelah melakukan rangkaian kejahatan.

Kendati menimbulkan keresahan karena film ini dikhawatirkan dapat menginspirasi kekerasan seperti riot dan shooting mass, namun Joker tetap meroket di tangga Box Office. Tehnik pengambilan adegan pada film ini terbilang sangat artistik. Berbagai emosi yang ditunjukkan oleh aktor utamapun membuatnya sulit untuk dibenci. 

Jika sebelumnya orang hanya mengenal Joker sebagai salah satu penjahat di film Batman dan kekasih dari tokoh villain eksentrik Harley Quinn, maka kali ini penonton dapat mengetahui bagaimana kehidupan awal yang membentuk sosok Joker.

Penyakit mental yang diderita Arthur Fleck, nama asli Joker, yang membuatnya tidak bisa mengontrol tawa memang betul ditemui di dunia nyata. Pseudobulbar affect (PBA) membuat penderita penyakit ini tertawa di saat yang tidak tepat. 

Menurut beberapa sumber, PBA disebabkan oleh kerusakan pada korteks prefrontal yaitu area otak yang membantu mengendalikan emosi. Pengobatan yang dilakukan persis seperti yang Arthur Fleck lakukan,  yaitu melalui terapi serta pengobatan.

Lebih lanjut tentang kondisi kesehatan yang dialami Joker, mungkinkah ada pemicu lain? Bisa jadi trauma yang dialami pada masa kecil adalah awal dari penyakit mental yang dideritanya. Efek traumatis berakibat fatal dan akan terus memberikan menghantui si penderita bahkan sampai dia dewasa. 

Pengalaman kekerasan yang terjadi saat Joker kecil, meskipun tidak teringat, namun alam bawah sadar menyimpan memori, kesedihan mendalam, dan sakit hati. 

Pada kasus sebenarnya jika hal ini terjadi, alih-alih pengobatan medis, hypnotherapy adalah metode yang paling ampuh karena dapat membantu mencaritahu sumber emosi, menetralisir, sampai akhirnya dapat berdamai dengan diri sendiri dan orang yang menyakiti.

Faktor lain yang juga tidak bisa diabaikan dari kronologis gangguan mental Joker adalah doktrin yang diberikan oleh figur otoritas. Entah dalam artian baik atau buruk, sebutan Happy yang diberikan oleh tokoh Ibu yang juga mengidap penyakit jiwa, ibarat bumbu pelengkap bagi kondisi PBA.

Dalam situasi mental yang tidak stabil, stimulus tertentu bisa menjadi trigger atau pemicu penyimpangan perilaku negatif lainnya. Pada sebuah scene Joker akhirnya menembak kepala pembawa acara yang dulu diidolakan berawal dari bully yang disiarkan di stasiun televisi lalu ditertawakan oleh penonton. Dampak psikologis tertawaan dan ejekan dapat membawa manusia ke dalam level emosi terbawah, yaitu perasaan malu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun