Mohon tunggu...
Evelyn Gabriella Suliantoro
Evelyn Gabriella Suliantoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Seorang gadis penyuka matcha dan senja Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Financial

Dari UMKM untuk ASEAN: Momentum Baru

19 Mei 2023   21:22 Diperbarui: 19 Mei 2023   21:29 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

UMKM sebagai skala usaha mayoritas di negara ASEAN berperan vital dalam menciptakan ketahanan ekonomi di kawasan ASEAN. Dalam masa pemulihan pasca pandemi, revitalisasi ekonomi dapat dimulai dari sektor pariwisata dimana keterlibatan kemitraan UMKM di dalamnya dapat dimanfaakan pula untuk menggerakan kegiatan ekonomi kerakyatan yang aktif. Sayangnya, digitalisasi pembayaran, infrastruktur ekonomi digital, dan literasi keuangan yang belum menjangkau seluruh UMKM menyebabkan indeks inklusi keuangan antar negara ASEAN masih mengalami kesenjangan. Padahal, transformasi digital di bidang ekonomi seperti e-commerce dan layanan fintech mengalami peningkatan pesat setelah pandemi yang melanda dalam skala global. Hal ini mengindikasikan dibutuhkan adaptasi sektor ekonomi di negara ASEAN secara fleksibel untuk menjawab akselerasi digital tersebut.

Peningkatan kapasitas UMKM melalui inovasi dan pengembangan produk dapat dilakukan dengan pengaplikasian teknologi digital untuk membangun branding melalui sosial media dan berbagai lokapasar yang dapat dilakukan dengan virtual tour sekaligus untuk melihat kondisi wisata dan produk yang dijual serta menerapkan teknologi pembayaran digital dengan QRIS. Adopsi teknologi digital dalam usaha ekonomi ini sejalan dengan tekad untuk mewujudkan regional payment connectivity (RPC). Untuk menjawab volume transaksi lintas negara yang diperkirakan akan menggeliat dalam tahun-tahun ke depan, Bank Indonesia bersama dengan empat bank sentral dari negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) RPC sebagai bentuk keseriusan menangani isu cross border payment yang dibahas pada G20 lalu.

Kilas balik sejenak mengenang seorang turis yang mendatangi toko kecil yang dikelola paman saya. Siang hari dengan baskara membakar kepala, turis tersebut ingin membeli sebotol air mineral dingin dengan bahasa Inggrisnya yang terbatas. "Do u want cold drinking water?" tanya mama saya yang melayani beliau saat itu sambil menunjuk ke arah kulkas. "Yes, please," jawab beliau dengan anggukan. Masalah selanjutnya datang saat transaksi pembayaran berlangsung. Toko kecil paman yang saat itu belum dilengkapi QRIS, ditambah lagi perbedaan mata uang antar negara dengan konversi kurs yang membingungkan, membuat beliau menyodorkan beberapa lembar uang pada mama saya. "Please choose," ucap beliau seraya menyodorkan selembar uang 50 ribu, selembar uang 20 ribu, dan selembar uang 100 ribu. Mama saya saat itu terdiam sejenak, memikirkan bagaimana jadinya apabila beliau bertemu dengan oknum yang tidak jujur dan kehabisan biaya saat berlibur. Mama saya juga membayangkan betapa repotnya transaksi lintas negara dengan metode tunai baik dari sisi turis maupun penjual. Akhirnya, mama saya menjelaskan secara singkat berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk sebotol air mineral dan memberikan kembalian sesuai harga. Untuk memudahkan mengingat, mama saya juga menambahkan informasi nilai mata uang tersebut berdasarkan warnanya. Namun, di era globalisasi yang semuanya serba cepat ini, pembayaran berdasarkan warna mata uang tentu saja tidak efektif sama halnya dengan sistem pembayaran tunai. Dari segi waktu terutama, kebutuhan untuk menukar uang sebelum bepergian akan menyita waktu. Selain itu, membawa banyak uang tunai saat bepergian sangatlah tidak praktis dan rentan terhadap kriminalitas seperti pencurian maupun pencopetan. Apabila ditinjau dari prospek jangka panjang, produk yang dijual oleh UMKM akan terbatas penjualannya pada pasar dalam negeri saja dan kesulitan menembus pasar internasional. Padahal, banyak produk hasil UMKM yang berdaya saing tinggi dan selalu menarik perhatian turis mancanegara saat berlibur ke Indonesia. Misalnya, pada Pasar Beringharjo yang selalu menjadi tujuan wisatawan yang melancong ke Yogyakarta. Apakah kalian pernah membayangkan kain-kain batik yang dijual di pasar tradisional tersebut menjadi pakaian sehari-hari masyarakat mancanegara? Potensi batik yang mana sebagai salah satu warisan budaya dunia yang diakui UNESCO tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan terjadi. Bayangkan apabila sistem pembayaran RPC diterapkan pada pasar tradisional tersebut, dengan terbukanya akses pembayaran dari konsumen negara Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand bahkan negara ASEAN lainnya, berapa banyak keuntungan yang dapat diraup pedagang dalam satu harinya? Itupun aplikasi sederhana dalam lingkup ASEAN. Jika range implementasi RPC diperbesar lagi menjadi satu dunia, apa yang kira-kira akan terjadi?

Seperti halnya pisau bermata dua, setiap inovasi datang dengan tantangannya. Salah satu tantangan yang mungkin dihadapi oleh penerapan RPC yaitu berkaitan dengan isu keamanan. Penggunaan QRIS statis yang bersifat permanen lebih rentan terhadap aksi pemalsuan seperti yang terjadi beberapa waktu silam ketika QRIS kotak amal diganti dengan qris milik pelaku. Selain itu, transaksi lintas negara akan semakin membuka peluang pelaku kejahatan cyber untuk menggencarkan aksinya. Apalagi ditopang dengan kemajuan teknologi, kasus hacking semakin meluas dengan modus kejahatan yang bervariasi seperti transaksi fiktif, skimming ATM, pembayaran digital ilegal yang tidak terdaftar, dan lain sebagainya. Tidak menutup kemungkinan, data pribadi pengguna akan dicuri untuk melakukan aksi kejahatan yang lain seperti penipuan antar negara untuk menyamarkan identitas asli pelaku. Merujuk data Badan Siber dan Sandi negara terdapat 88 juta kasus serangan siber yang tercatat di sepanjang tahun 2021. Jumlah ini kemungkinan akan meningkat pesat seiring dengan terkoneksinya pembayaran digital beberapa negara yang membuka peluang lebih besar bagi pelaku kejahatan untuk mendapat korban dari negara lain mengingat adanya perbedaan pola modus serangan siber antar negara. Maka dari itu, sistem keamanan berlapis dan regulasi yang menyertai implementasi RPC juga harus diberlakukan untuk menindaktegas para oknum. Tentunya, kita tidak berharap nama kita kelak suatu hari nanti akan disalahgunakan dalam tindak kriminal, bukan?

Referensi :

Digitalnewsasia.com (2022, 15 November). Five Central Banks Sign Regional Payment Connectivity Cooperation. Diakses pada 15 Mei 2023, dari https://www.digitalnewsasia.com/business/five-central-banks-sign-regional-payment-connectivity-cooperation

Kontan.co.id (2022, 19 April). Hati-hati, Kejahatan Siber Hantui Transaksi QRIS Lintas Negara. Diakses pada 18 Mei 2023, dari https://www.google.com/amp/s/amp.kontan.co.id/news/hati-hati-kejahatan-siber-hantui-transaksi-qris-lintas-negara

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun