Hampir setiap sore saya naik bajaj, transportasi paling cepat untuk menembus kemacetan Jakarta. Tapi sore kemarin ada yang tidak biasa, pengemudi bajaj yang saya tumpangi ternyata seorang bisu. Saat menawar tarif dan menyatakan tujuan, saya tidak menyadarinya karena ia hanya mengangguk-angguk.Â
Tetapi belum 20 meter pertama ia mulai memberi tanda-tanda dengan gerakan tangannya apakah kami harus berbelok atau lurus. Lalu ia juga memberi tanda agar saya bicara keras dan memandunya. Saya terbengong-bengong dengan kenekatan si tukang yang memilih menarik bajaj untuk penghidupannya.Â
"Kok berani sekali ya?" pikir saya. Yang membuat saya lebih kagum lagi, di perempatan lampu merah, si tukang bajaj ini ber-"say hi" dengan tukang bajaj di sebelah kami dan berkomunikasi dengan isyarat. "Wah pe-de sekali si Bapak ini".Â
Tapi yang membuat saya tersenyum lebar adalah kejadian di pompa bensin. Si tukang bajaj antri dengan tertib dan dengan galaknya mencegah seorang pengendara motor menyelak posisinya. Tampak ia "mengomel" dengan raut muka kesal. "Wah benar-benar hebat si tukang bajaj satu ini!" Banyak orang merasa malu dan tidak percaya diri dengan kekurangan-kekurangan yang sifatnya material, tapi tukang bajaj ini menunjukkan bahwa kekurangan fisik yang cukup vital pun bukan penghalang untuk mandiri dan berkarya. Selama ada kemauan, di situ ada jalan!
Jakarta, 2009