Mohon tunggu...
Evan Prajongko
Evan Prajongko Mohon Tunggu... Admin Sales Support -

Pecinta dunia psikologi sosial dan budaya namun mencoba untuk menulis tanpa menggunakan bahasa akademik yang rumit. Sedang berjuang mengenai empat kesunyataan dan jalan mulia berunsur delapan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Reog: Istilah Salah Kaprah Warisan Bupati Era Orde Baru dan Usaha Alot Pelurusannya

5 Agustus 2017   02:49 Diperbarui: 5 Agustus 2017   10:39 2167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa / dokpri

"Tak sepatutnya yang satu menipu yang lainnya, tidak menghina siapa pun di mana juga;
tak selayaknya karena marah dan benci mengharap yang lain celaka."

Kesenian Reyog Ponorogo merupakan salah satu seni pertunjukan tari dengan sebuah alur yang lebih menyerupai sendratari. Sendratari menurut KBBI (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016), merupakan drama atau cerita yang disajikan dalam bentuk tarian tanpa adanya dialog, biasanya diiringi oleh musik (gamelan). Merujuk pada lema yang terdapat dapat KBBI, maka pertunjukan Reyog Ponorogo dapat disandingkan dengan pertunjukan Ramayana di Candi Prambanan juga Kecak di Bali.

Berembusnya kesenian Reyog Ponorogo ke Nusantara merupakan sebuah hasil positif bila ditinjau dari segi pelestarian budaya. Ditinjau dari segi pakem, kesenian Reyog Ponorogo mengalami beberapa pergeseran dari pedoman atas kepentingan beberapa pihak. Kepentingan yang saya maksud di sini tidak melulu berada pada konotasi negatif. Beberapa daerah menyajikan pertunjukkan Reyog Ponorogo yang dibarengi dengan kesenian Jaranan atau Kuda Lumping, bahkan atraksi-atraksi berunsur magis demi memikat daya tarik masyarakat. Sanggar Reyog lain juga menampilkan penari Jathil (sebutan prajurit berkuda wanita dalam seni Reyog; bukan jaranan) dengan tarian yang liuk lampai menggoyangkan dada dan pantat. Saya pribadi lebih memilih menggunakan kalimat demikian demi menghindari asumsi subjektif dengan menggunakan frasa "gerakan erotis" atau "gerakan sensual". 

Tidak sampai pada titik tersebut, satu hal yang sudah menjadi "salah kaprah" atau kesalahan yang lazim, adalah penulisan ejaan "Reog". Banyak rekan-rekan seniman dan wartawan yang masih menggunakan istilah "Reog", termasuk situs eksiklopedia online bernama Wikipedia. Saya telah mencoba melakukan korespondensi dengan editor Wikipedia namun sepertinya pendapat saya yang didasarkan pakem budaya hanya dianggap sebagai angin lalu. Kesalahan tersebut mungkin terjadi karena ketidaktahuan atau keengganan untuk mencari tahu kebenaran.

Kesalahan ini berawal dari era Bupati Markum Singodimejo (1994 s.d. 2004) yang membuat semboyan Kabupaten Ponorogo menggunakan kata REOG. REOG merupakan kepanjangan dari "Resik, Endah, Omber, Girang-gemirang" yang memiliki arti bersih, indah, makmur, dan bahagia. Bupati yang bukan merupakan putra daerah, karena dilahirkan di Kabupaten Malang pada 16 Agustus 1945 ini mungkin memang tidak mengetahui, tidak mencari tahu, atau sengaja menghilangkan huruf Y pada tulisan Reyog karena setelah saya coba mencari semboyan singkatan dengan huruf Y, memang sulit. 

Politikus yang kini merupakan anggota DPR RI 2009 s.d. 2014 di Komisi VII yang menangani Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia, serta Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia tersebut bisa saja dipertanyakan apa yang telah dilakukan beliau pada saat menjabat, termasuk alasan menggunakan Reog dan bukan Reyog. Terlepas dari beberapa kasus beliau, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Markum yang telah membangun Ponorogo besar-besaran.Beberapa bukti yang menguatkan bahwa ejaan yang benar adalah Reyog dan bukan Reog, adalah dokumen-dokumen penting yang terbit pada masa pemerintahan Bupati Markum Singodimedjo. Istilah Reyog disebutkan berasal dari kata Riyeg yang berarti "bergetar karena ramai" tercantum dalam buku Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa. Buku tersebut terbit pada tahun 1993 oleh Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo. Jelas-jelas pada sampul tercetak tulisan "Reyog". Buku tersebut telah didaftarkan hak ciptanya pada tanggal 12 April 1995 di Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek, Departemen Kehakiman Republik Infonesia dengan nomor pendaftaran 013195. 

Hak Cipta kesenian Reyog Ponorogo juga terdaftar pada 11 Februari 2004, disahkan pada 1 Desember 2004 dengan nomor pendaftaran 026377 dengan nama "Reyog Ponorogo" dan bukan "Reog Ponorogo". Jenis ciptaan seni tari ini diumumkan untuk pertama kali di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia secara hukum pada 14 Agustus 1994 (di masa Bupati Markum).

Foto Surat Hak Cipta Buku / dokpri
Foto Surat Hak Cipta Buku / dokpri
Foto Hak Cipta Reyog Ponorogo / dokpri
Foto Hak Cipta Reyog Ponorogo / dokpri
Bukti sejarah yang dipaparkan oleh beberapa tokoh Reyog, termasuk warok terakhir, almarhum Mbah Kasni Gunopati (Mbah Wo Kucing), mengindikasikan kebenaran ejaan Reyog. Mbah Wo Kucing memaparkan bahwa Reyog singkatan dari Rasa kidung / Engwang sukma adiluhung / Yang widhi / Olah kridaning gusti / Gelar gulung kersaning kang mahakuwasa. H. Achmad Tobroni Toredjo, salah satu sesepuh kesenian Reyog menjabarkan bahwa Reyog merupakan singkatan dari kalimat "Rasa Eling Yekti Ora Goroh" (rasa ingat, berbakti, dan tidak berdusta). Mbah Pur, salah satu tokoh kesenian Reyog Ponorogo yang fenomenal dengan julukan MPWG (Mbah Pur Warok Gendeng) menjabarkan Reyog sebagai singkatan dari "Rukun Eling Yekti Ono Gunane" (rukun, ingat, dan berbakti, ada manfaatnya). Ditinjau berdasarkan asal tempat, Reyog lahir di Ponorogo beberapa ratus tahun yang lalu. Ponorogo beberapa ratus tahun yang lalu tentu menggunakan aksara carakan atau aksara jawa. Apabila ditulis menggunakan aksara jawa, tentu hasilnya memuat huruf "ra", "ya", dan "ga", dan tertulis "Reyog", bukan "Reog".

Reyog dalam penulisan aksara jawa / dokpri
Reyog dalam penulisan aksara jawa / dokpri
Pemerintah Kabupaten Ponorogo, sejak masa pemerintahan Bupati Amin (2010 s.d. 2015) gencar meluruskan istilah kesenian dari Reog menjadi Reyog dilanjutkan dengan era pemerintah yang sekarang, Bupati Ipong. Hal ini merupakan salah satu upaya pencerdasan kepada masyarakat agar tidak semakin lama terjerumus pada ejaan Reog yang digaungkan pada era pemerintahan Bupati Markum Singodimedjo. Maka dari itu dengan tulisan ini, saya mengajak kepada semua rekan-rekan untuk kembali pada apa yang diwariskan sesepuh. 

Mungkin saja ada beberapa pihak yang tidak mau berbenah menjadi lebih baik karena telah "nyaman" dengan ejaan Reog, saya tidak memaksa karena itu adalah pilihan, dan jelas baik Reyog maupun Reog, rujukan keseniannya tetap sama. Bila tidak mau berbenah karena "dugaan" politik, setidaknya marilah berbenah demi melestarikan budaya ini.

Seseorang yang menyadari ketidaktahuannya dan berubah menjadi lebih baik, maka ia dapat dikatakan sebagai bijaksana.
"Bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya,
maka ia dapat dikatakan bijaksana;
tetapi orang bodoh yang menganggap dirinya bijaksana,
sesungguhnya dialah yang disebut orang bodoh."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun