Mohon tunggu...
Evan Prajongko
Evan Prajongko Mohon Tunggu... Admin Sales Support -

Pecinta dunia psikologi sosial dan budaya namun mencoba untuk menulis tanpa menggunakan bahasa akademik yang rumit. Sedang berjuang mengenai empat kesunyataan dan jalan mulia berunsur delapan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seri Babad Ponorogo: Adipati Suradiningrat, Kematian di Tangan Patih Sendiri

31 Agustus 2016   15:53 Diperbarui: 31 Agustus 2016   16:12 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Usaha Patih Membunuh Adipati

Ketika Ponorogo dipimpin oleh Adipati Surodiningrat (pertengahan abad XVIII), yang menjabat sebagai patih adalah Patih Tambakboyo yang digelari Margo Ewuh (dijuluki demikian karena ucapannya selalu membuat ewuh/susah). Patih Tambakboyo ingin menikahi putri Adipati, namun ditolak sehingga merasa dendam dan merancang pembalasan.

Di desa Keniten, ada seorang demang sakti bernama Ronggoniti. Kelemahannya adalah jika disanjung suka lupa diri dan lepas kendali. Patih Tambakboyo lalu membuat rencana mempermalukan Adipati Surodiningrat dengan cara menyuruh Ronggoniti mencuri bokor emas milik Kadipaten. Demang Ronggoniti menyusuri Sungai Juranggandul Kadipaten (pada masa pemerintahan di kota lama), lalu dengan ilmunya menggangsir tanah hinggga berlubang dan masuk ke wilayah Kadipaten. Lubang yang dia gali, saat ini masih ada dan dinamakan Sebrumbung.

Setelah bokor emas dicuri, Kadipaten menjadi geger, Patih Tambakboyo berpura pura mencari dan memberi tahu bahwa yang mencuri adalah demang Ronggoniti. Adipati Surodiningrat lalu berangkat ke Keniten diantar oleh dua putranya dengan menyamar menjadi rakyat biasa. Sesampainya di Keniten, Adipati lalu bertanya di mana bokor emas yang dicuri. Ronggoniti mengikat bokor emas dengan sabuk di perutnya lalu pura-pura tidak tahu. Dengan ilmu kesaktiannya, Adipati Surodiningrat menunjuk ke arah perut Ronggoniti dan bokor emas pun jatuh. Merasa malu, Ronggoniti memberi perintah para jagoan yang berada di rumahnya untuk membunuh Adipati Surodiningrat. Pedang berkelebatan menuju Adipati, namun tak satu pun yang melukai tubuhnya. Kedua anak Adipati lalu ganti menyerang para jagoan pengawal Ronggoniti hingga terjadi pertumpahan darah. Karena merasa malu, Ronggoniti melompat ke sebuah beji (sumber air) dan menghilang.

Adipati menunggu di tepi Beji hingga tiba waktu sholat Dhuhur. Ketika ditinggal sholat, tongkat Adipati hilang. Adipati lalu berkata, ”Ronggoniti, aku tahu ini ulahmu. Semoga tongkatku menjadi ekormu.” Ronggoniti yang belum sadar apa yang terjadi berteriak menantang Adipati untuk berduel. Adipati Surodiningrat lalu berkata, ”Ronggoniti, coba kau lihat wujudmu!”. Ronggoniti melihat ke air dan terkejut setengah mati, ternyata badannya sudah berubah menjadi buaya berwarna belang. Dengan merangkak, Ronggoniti berkata, ”Saya mohon maaf Gusti Adipati. Tolong cabut kutukan Gusti Adipati agar saya bisa menjadi manusia lagi.” ucapnya. Adipati Surodiningrat lalu berkata, ”Permintaan maafmu aku terima, namun soal wujudmu itu adalah akibat ulah dan ilmu buaya yang kau miliki. Warna belang di tubuhmu adalah cerminan belangnya hatimu. Kau bisa kembali ke asalmu asal mau bertapa dan jangan mengganggu manusia lagi”.

Tempat Demang Ronggoniti menjadi buaya saat ini bernama Sebokor, terletak di utara perempatan Pabrik Es Ponorogo. Dahulu sering terjadi kecelakaan lalu lintas yang memakan korban di tempat tersebut. Orang dahulu menyebut "papan wigatos, kedah ngatos-ngatos" (tempat berbahaya, harus penuh waspada).

Adipati Surodiningrat Gugur

Setelah gagal mempermalukan Adipati Surodiningrat lewat tangan Demang Ronggoniti, kesempatan membalas dendam datang saat Pangeran Arya Mangkunegara (KGPAA Mangkunegara I) dari Surakarta datang ke Ponorogo. Saat itu di wilayah kasunanan Surakarta sedang terjadi pertikaian politik sehingga Pangeran Arya Mangkunegara hendak ke Ponorogo meninjau keadaan. Mengetahui utusan kasunanan Surakarta datang, Adipati Surodiningrat mempersiapkan diri menyambut. Beliau menyuruh Patih Tambakboyo menulis surat yang jika diterjemahkan berbunyi: Kedatangan anda (Pangeran Mangkunegara) kami terima dengan tangan terbuka dan kami sudah mempersiapkan penyambutan sebaik baiknya. Patih Tambakboyo merubah isi surat pada bagian paling akhir yang berbunyi SAMPUN SAMEKTA SEDHAYA (sudah mempersiapkan semuanya) dengan kata sampun SAMEKTA ING NGAYUDHA (kami sudah siap berperang melawan anda) sehingga surat tersebut berganti makna menjadi “kedatangan anda (Pangeran Mangkunegara) kami terima dengan tangan terbuka dan kami sudah siap berperang melawan anda”.

Melihat surat tersebut Pangeran Mangkunegara sangat murka. Pasukannya yang berada di sisi barat kali Bengawan (sekarang sekitar wilayah Danyang) segera disusun dengan formasi perang dan maju ke arah timur. Gong tanda perang lalu ditabuh bertalu-talu. Tempat ditabuhnya gong kemudian disebut dusun Demung (demung artinya gong), berada di desa Sukosari Kecamatan Babadan.

Adipati Surodiningrat tidak menyadari apa yang terjadi. Mendengar gong tanda perang, kuda Adipati Surodiningrat yang semula berjalan, nalurinya bangkit lalu meronta-ronta maju dengan kecepatan tinggi. Pasukan Mangkunegara yang mengira Adipati Surodiningrat maju menyerbu, lalu menombak dada Adipati hingga luka parah. Terkena tetesan darah, kuda Adipati lalu berlari pulang. Kedua pasukan lalu menyadari telah terjadi salah paham karena pasukan Ponorogo datang tidak untuk perang, namun menyambut dengan kekeluargaan, bahkan membawa hidangan makanan untuk makan bersama.

Pembalasan Terhadap Patih Tambakboyo

Pangeran Mangkunegara lalu menyusul Adipati Surodiningrat di kadipaten dan menyerahkan surat tantangan yang diterimanya. Adipati Surodiningrat lalu berkata itu adalah fitnah dari Patih Tambakboyo. Pangeran Mangkunegara kemudian menyuruh pasukannya mencari Tambakboyo dan bertemu di sebuah rumpun bambu di pinggir sungai. Begitu ditemukan, kepala Tambakboyo lalu dipenggal hingga putus. Tempat patih Tambakboyo dipenggal dinamakan Tambakbayan dan tempatnya dipenggal tidak boleh ditempati atau dibangun rumah disekitarnya. Pangeran Mangkunegara lalu membawa kepala Patih Tambakboyo ke hadapan Adipati Surodiningrat lalu berkata, ”Maafkan saya paman Adipati, semoga kepala ini menjadi penebus kesalahan” kemudian beliau pulang ke Surakarta.

Sebelum meninggal Adipati Surodiningrat berkata, ”Tambakboyo, kau dan anak keturunanmu tidak akan menjadi orang terhormat mengabdi pada negara dan derajat kalian adalah derajat orang hina”. Patih Tambakboyo dimakamkan di tepi sungai di wilayah Menggungan, Kelurahan Kadipaten. Kuburan Patih Tambakboyo tidak ada yang membersihkan karena jika dibersihkan pada malam harinya ada suara jeritan jeritan mengerikan dari tempat tersebut.

Sumber: Buku Babad Ponorogo Bab II Halaman 26 & 29. Tulisan ini disusun dari naskah asli berbahasa Jawa oleh Fanpage Facebook SETENPO Semua Tentang Ponorogo.

Catatan:

  • Penerimaan akan kebenarannya kami serahkan pada penilaian pembaca.
  • Tempat bernama Sebrumbung memang ada dan terdapat jalan seperti terowongan yang menurut penduduk adalah bekas galian Demang Ronggoniti, terletak di Sebrumbung, Kelurahan Kadipaten.
  • Adipati Surodiningrat pada kisah ini bila dirunut dari beberapa kisah lainnya, adalah Adipati Suradinigrat I yang juga mendapat julukan (Seda Demung). Hal ini juga dirunut dari pergolakan yang terjadi di Kartasura, yaitu pada abad XVIII, pada masa Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I (Bendara Raden Mas Said)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun