Mohon tunggu...
Eva Fauziyah
Eva Fauziyah Mohon Tunggu... Guru - Mpa Mpot

Hidup adalah perjuangan, tanamkan proses dalam hidup sebab hasil akan mengikuti bilapun hasil tak sesuai harapan yakinlah bahwa proseslah yang akan dinilai di hadapan Allah Tuhan semesta Alam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mampukah Pendidikan Pranikah Seumur Jagung Menekan Angka Perceraian?

17 November 2019   23:10 Diperbarui: 18 November 2019   07:36 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


Tiga hari lalu tepatnya tanggal 14 Nopember 2019 kita dihebohkan dengan berita Menteri kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI (Menko PMK) bapak Muhadjir Effendy, beliau mempertimbangkan kewajiban memiliki sertifikat menikah bagi pasangan yang hendak menikah. Sertifikat dimaksud diperoleh setelah calon pengantin mengikuti pelatihan atau pendidikan pranikah. Menurut pak menteri Program ini bertujuan untuk membekali para calon pengantin tentang soal kehidupan rumah tangga dan menekan angka perceraian. Menurut beliau  program ini sebelumnya sudah dilakukan tetapi belum maksimal dan ingin dimasifkan serta disempurnakan lagi. Beliau juga berencana agar program ini besinergi dengan kementrian lain yang terkait seperti kementrian agama, kementrian kesehatan atau kementrian lainnya. Gagasan tersebut menuai beragam respon dari beberapa kalangan . Sebut saja, seperti MUI, mendukung program kursus pranikah ini tetapi jangan sampai membuat orang takut untuk menikah. Dukangan lain datang dari Menteri agama dengan menyampaikan siap untuk mengerahkan petugas KUA dalam melakukan penyuluhan. Komisi VIII DPR RI mendukung program ini dan berpesan agar prosedurnya tidak berbelit-belit. Bahkan komnas perempuan pun bersuara agar memasukan materi kesetaraan gender dalam pelatihan pranikah.
Pelatihan pranikah ini berawal dari kekhawatiran menko PMK atas tingginya angka perceraian di Indonesia yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Perlu kita ketahui Sejak krisis moneter dan awal reformasi tahun 1997- 1998 angka perceraian terus melonjak, menurut laporan Mahkamah Agung RI pada tahun 2018 tercatat sebanyak 419.268 kasus perceraian. Bila dipresentase setiap tahun mengalami kenaikan 10 hingga 20%. Dari jumlah tersebut, perceraian didominasi oleh cerai gugat, artinya istri yang menggugat cerai sebanyak 307.778 dan sisanya 111.490 adalah perceraian yang diajukan oleh suami atau cerai talak. Adapun faktor penyebab perceraian berbeda-beda, merujuk pada laporan Mahkamah agung RI penyebab perceraian terbagi dalam empat belas faktor, dari data tersebut  faktor perselisihan dan pertengkaran terus menerus menempati urutan pertama terbanyak. Urutan kedua yang menjadi penyebab perceraian adalah faktor persoalan ekonomi. Sedangkan urutan ketiga terbanyak penyebab perceraian yakni meninggalkan salah satu pihak. Usia yang mendominasi perceraian secara nasional berada pada usia produktif yakni berkisar antara usia 30 sampai 40 tahun.
Tidaklah salah bila dorongan ini membuat khawatir pak menteri sehingga berencana untuk memasifkan pendidikan pranikah bahkan ada anggapan bila belum bersertifikat pranikah tidaklah layak untuk menikah. Program pelatihan pranikah ini dilakukan selama tiga bulan sebelum calon pengantin melangsungkan pernikahannya. Yang menjadi pertanyaan apakah benar pendidikan pranikah yang singkat tersebut mampu menekan angka perceraian secara maksimal?
Tentu ini menjadi renungan kita bersama, sebab pernikahan adalah suatu akad yang berakibat pada hukum lainnya. Sejak ijab kabul diucapkan oleh seorang laki-laki dihadapan ayah dari perempuan yang akan dinikahinya maka sejak itu pula akibat hukum lainnya akan menjadi tanggungan kedua belah pihak bahkan keluarga besar. Sebuah pernikahan telah mengubah tanggung jawab yang ada di pundak  ayah beralih kepada suami seluruhnya, ayah tidak lagi memiliki hak atas anak perempuannya. Oleh karenanya, kebutuhan terhadap ilmu dan pengetahuan tentang rumah tangga dan persoalan hidup menjadi sebuah keharusan bagi seorang laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan pernikahan.
Berbicara ilmu rumah tangga, yang akan diterapkan langsung dalam waktu yang sangat lama, tentu tidaklah cukup didapat dengan instan sekedar seumur jagung apalagi dalam kondisi saat ini dimana tantangan hidup semakin keras, dunia semakin global, pandangan hidup masyarakat mulai bergeser ke arah yang lebih bebas dan berbasis materi. Setidaknya pergeseran kondisi ini sangat berpengaruh pada kehidupan rumah tangga khususnya kaum milineal. Maka ilmu terapan tersebut lebih efektif bila dikondisikan sejak awal dan melibatkan semua pihak baik keluarga, lingkungan dan sistem yang dalam hal ini adalah negara.
Pengkondisian dimaksud adalah bagaimana menyiapkan anak-anak sejak dini untuk memiliki jiwa juang yang tinggi dalam mengarungi kehidupan termasuk didalamnya bagaimana agar mampu membangun mahligai rumah tangga menuju sakinah, mawaddah wa rohmah. Pastinya hal ini bukanlah perkara mudah karena harus menyasar secara detail baik secara fisik maupun psikisnya.
Mungkin kita perlu menengok sejenak ke belakang bagaimana orang tua-orang tua kita jaman dulu mampu mempertahankan kehidupan rumah tangganya dalam kondisi fasilitas serba terbatas dengan jumlah anak yang tidak sedikit malah banyak diantara mereka yang melangsungkan pernikahannya pada usia yang masih belia. Tetapi dengan penuh kesungguhan mereka mampu membangun mahligai rumah tangga sampai usia senja.
Penulis berkeyakinan untuk menyiapkan karakter-karakter seperti itu sangat dibutuhkan model pendidikan yang terstruktur dan komprehensif dengan kurikulum yang menyentuh langsung pada aspek kehidupan secara praktis bukan sekedar kurikulum berbasis nilai yang setiap harinya sibuk dengan teori-teori serta rumus-rumus yang mungkin tidak diperlukan dalam menyelesaikan persoalan hidup.
Pernikahan dalam pandangan islam adalah ibadah untuk mencapai ridho Allah SWT. Sangat dimungkinkan dalam pelaksanaannya akan menemui banyak gangguan dan godaan baik gangguan dari dalam diri sendiri maupun dari pihak luar. Tujuan ibadah adalah hal pertama yang harus ditanamkan kepada setiap individu anak terlebih pada anak-anak yang mendekati usia baligh. Jika ibadah menjadi tujuan tentu segala pengupayaan yang akan menghantarkan pada kekhusyuannya harus diwujudkan sehingga perlu adanya pengetahuan terkait pengupayaan tersebut seperti mengetahui hak dan kewajiban suami, hak dan kewajiban istri, hak dan kewajiban anak serta pengetahuan lainnya yang menunjang ketahanan rumah tangga.
Untuk memenuhi itu semua tidaklah cukup sebatas teori karena seseorang mampu melaksankan hak dan kewajiban salah satunya bilamana seorang suami memiliki kemampuan secara finansial untuk menafkahi keluarganya. Maka seorang anak laki-laki dituntut ke arah bagaimana mereka mampu menjadi sososk pemimpin, pengayom, mandiri secara finansial agar mampu memenuhi kewajiban terhadap rumah tangganya. Demikian pula bagi anak perempuan dituntut kearah bagaimana mampu menjadi istri dan ibu yang multi talenta serba bisa mulai mengurus urusan anak, urusan suami, kesehatan keluarga, pengaturan keuangan,  logistik, maupun urusan publik.
Kiranya bukanlah hal mustahil bila suatu saat nanti kurikulum pendidikan di sekolah- sekolah akan memasukan pendidikan kerumahtanggaan dan banyak dikembangkan berbagai keterampilan-keterampilan yang menunjang kemandirian sebagaimana pendidikan tersebut sebagian kecil diterapkan pada pesantren-pesantren tradisional. Kurikulum pendidikan kerumahtanggaan tersebut akan menjadi maksimal bila terintegrasi dan  dikuatkan dengan pola didik dan pola asuh dalam keluarga. Sebab pendidikan sekolah dan rumah sejatinya tidak bisa dipisahkan. Diharapkan dengan pembekalan-pembekalan kurikulum ini kelangengan rumah tangga akan bertahan lebih lama, meskipun dalam perjalanannya mendapati gangguan, persengketaan atau perselisihan setidaknya mereka mampu mendeteksi dan mengatasi sejak dini sehingga persengketaan tidak melebar bahkan sampai berujung pada perceraian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun