Konflik rumah tangga sering kali dianggap sebagai masalah pribadi yang seharusnya diselesaikan dalam lingkup keluarga. Namun, ketika konflik tersebut melibatkan figur publik atau profesional, seperti seorang polisi wanita (polwan), dampaknya bisa jauh lebih besar. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah tragedi Briptu Fadilatun Nikmah atau Dila (28), polwan Polres Mojokerto Kota yang membakar suaminya, Briptu Rian Dwi Wicaksono (27) yang berakhir dengan kejadian tragis dalam rumah tangganya. Konflik ini tidak hanya menyentuh sisi emosional, tetapi juga membuka ruang untuk analisis mendalam mengenai motif di balik kekerasan dalam rumah tangga serta implikasi hukumnya.
Kasus ini bermula dengan dugaan adanya ketegangan dan masalah serius dalam hubungan rumah tangga yang sebelumnya tampak baik-baik saja. Seperti banyak kasus serupa, masalah-masalah yang tidak terungkap atau diselesaikan dengan baik dapat berkembang menjadi konflik terbuka yang berujung pada tindakan kekerasan. Dalam kasus polwan ini, kekerasan tersebut tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, tetapi juga secara psikologis, menciptakan trauma yang mendalam bagi korban dan lingkungan sekitar.
Dari sisi motif, ada beberapa hal yang bisa menjadi latar belakang munculnya kekerasan dalam rumah tangga ini. Salah satunya adalah tekanan pekerjaan yang dihadapi oleh polwan, yang sering kali berada dalam situasi stres tinggi. Sebagai seorang anggota kepolisian, seorang polwan terpapar oleh lingkungan kerja yang penuh dengan tekanan, risiko, dan tanggung jawab besar. Tuntutan profesi yang harus selalu siap dalam situasi apapun, bisa mengarah pada kelelahan mental dan emosional. Ketika perasaan ini tidak dapat diungkapkan atau dikelola dengan baik, bisa menciptakan ketegangan yang merambat ke dalam kehidupan pribadi.
Namun, motif konflik dalam rumah tangga polwan ini tidak hanya sekadar tekanan profesi. Isu-isu pribadi, seperti perselingkuhan atau masalah kepercayaan, masalah komunikasi, dan ketidakseimbangan peran dalam keluarga, turut memperburuk situasi. Ketika dua individu dalam rumah tangga tidak mampu berkomunikasi dengan baik, atau satu pihak merasa tidak dihargai atau diabaikan, rasa frustrasi bisa mengarah pada kekerasan. Dalam kasus ini, kemungkinan adanya kesenjangan dalam memahami peran masing-masing dalam rumah tangga antara seorang polwan yang sering berada di luar rumah dan pasangan yang mungkin merasa terabaikan, bisa memperburuk ketegangan tersebut.
Bertambahnya faktor eksternal, seperti tekanan ekonomi, masalah anak, atau bahkan persoalan sosial lainnya, dapat memperburuk konflik yang sudah ada. Ketika masalah rumah tangga ini tidak segera diatasi dengan cara yang sehat, maka akan timbul keretakan yang lebih dalam, yang akhirnya memicu kekerasan dalam rumah tangga.
Konflik rumah tangga yang berujung pada tragedi ini membawa implikasi hukum yang tidak bisa dianggap remeh. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, merupakan tindakan pidana yang harus ditindak tegas. Undang-undang ini tidak hanya memberikan perlindungan bagi korban, tetapi juga memberikan sanksi hukum yang berat bagi pelaku kekerasan. Dalam kasus ini, meskipun pelaku adalah seorang polwan, yang seharusnya mengetahui betul tentang pentingnya penegakan hukum, hukum tetap harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Selain itu, peran aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga sangat penting. Meskipun si pelaku adalah seorang anggota kepolisian, hal ini tidak menghalangi proses hukum untuk berjalan dengan adil. Proses penyelidikan yang transparan dan objektif harus tetap dilaksanakan, baik untuk memberikan keadilan bagi korban maupun untuk memberi pesan bahwa hukum tidak mengenal kekebalan, bahkan bagi mereka yang berasal dari kalangan aparat penegak hukum.
Selain sanksi pidana, pelaku juga dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan aturan disiplin kepolisian. Sebagai polwan, pelaku diharapkan memahami bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga dapat merusak citra profesinya serta memberikan dampak negatif terhadap institusi tempat dia bernaung. Kejadian ini juga menjadi pelajaran penting bagi aparat penegak hukum untuk lebih peka terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga yang sering kali disembunyikan karena stigma atau rasa malu.
Dampak psikologis yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam rumah tangga juga tidak bisa diabaikan. Korban kekerasan, baik secara fisik maupun mental, seringkali mengalami trauma berkepanjangan. Trauma ini bisa memengaruhi kesehatan mental dan emosional korban, serta hubungan sosial mereka. Selain itu, anak-anak yang mungkin terlibat atau menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga juga berisiko mengalami gangguan psikologis yang sama. Oleh karena itu, penting untuk memberikan pendampingan psikologis kepada korban agar mereka dapat pulih dan membangun kembali kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, fenomena kekerasan dalam rumah tangga ini memberikan peringatan bagi masyarakat tentang pentingnya komunikasi yang terbuka dan sehat dalam keluarga. Pendidikan tentang cara-cara penyelesaian masalah yang konstruktif sangat diperlukan untuk mencegah kekerasan. Masyarakat harus mulai menyadari bahwa kekerasan bukanlah solusi untuk masalah yang ada, dan harus ada ruang untuk mencari jalan keluar yang tidak merugikan pihak manapun.
Di sisi lain, kasus ini juga membuka ruang bagi masyarakat untuk lebih terbuka dalam membicarakan masalah kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun masih ada stigma yang melingkupi masalah ini, pendidikan dan kesadaran tentang bahaya kekerasan dalam rumah tangga perlu terus diperluas. Masyarakat harus didorong untuk lebih aktif melaporkan tindakan kekerasan dan memberi dukungan kepada korban, sehingga kasus-kasus serupa dapat diminimalisir.