Mohon tunggu...
Eusebius Purwadi
Eusebius Purwadi Mohon Tunggu... Konsultan - Advokat

Hello..nama saya Eusebius Purwadi. Saya bertempat tinggal di Kota Surabaya. Kehadiran saya di Kompasiana ingin banyak belajar dan pelajaran dari kawan-kawan yang tergabung dalam Kompasiana ini.

Selanjutnya

Tutup

Money

Misteri Harga Gula Lokal

17 Februari 2011   14:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:30 1215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pemerintah telah menaikkan Harga Patokan Petani (HPP) gula kristal putih (plantation white sugar) sebesar 18,7% dari Rp 5.350 per Kg menjadi Rp 6.350 per Kg. Ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.20/M-DAG/PER/5/2010 pada tanggal 10 Mei 2010 tentang Penetapan Harga Patokan Petani (HPP) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar). Besaran HPP Gula Kristal Putih tersebut disepakati dalam Rapat Koordinasi di Kantor Menko Perekonomian pada tanggal 7 Mei 2010 yang dihadiri oleh instansi teknis terkait (termasuk Tim Survey DGI). Penetapan HPP Gula Kristal Putih mengacu pada perhitungan Biaya Pokok Produksi (BPP) hasil Tim Survey DGI pada awal tahun 2010, dan penyesuaian terhadap bagi hasil giling tebu, besaran rendemen dan tetes tebu, sebagai berikut:

1.      Bagi hasil giling tebu petani menjadi rata-rata 68% untuk petani tebu dan 32% untuk PTPN (sebelumnya 66% untuk petani tebu dan 34% untuk PTPN).

2.      Rendemen gula petani naik menjadi 7,4% (sebelumnya 7,18%);

3.      Tetes tebu menjadi 3 kilogram kenaikan 20% dari sebelumnya 2,5 kilogram.

Menurut Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, tujuan utama penetapan HPP Gula Kristal Putih tahun 2010 sebesar Rp 6.350 per kg adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan petani dalam upaya peningkatan produksi tebu dan produktivitas lahan menuju swasembada gula di dalam negeri.

Lalu mengapa tujuan yang suci ini justru ditolak oleh petani tebu itu sendiri. Misalnya, pada tanggal 10 Juni 2010, ribuan petani tebu di Jember melakukan aksi penolakan pembagian keuntungan penjualan gula di PTPN XI. Para petani memandang, bahwa bagi hasil hanya permainan dan konspirasi yang menguntungkan pedagang besar dan pengurus APTRI-PTPN XI. Menurut mereka PTPN XI adalah bagian oligarki pemburu keuntungan. Petani tebu dipaksa menandatangani kesepakatan dengan Pabrik Gula PTPN XI. Jika tidak menandatangani, tebu petani tidak akan di giling. Menurut mereka ini bagian dari permainan pedagang besar. Tidak hanya di Jember, pada tanggal 12 Juni 2010, ratusan petani tebu di Lumajang menggelar aksi demo menolak Surat Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan yang mengatur profit sharing gula petani. Pemaksaan juga dilakukan pihak Direksi PTPN XI melalui kemitraan dinilai merupakan intervensi terhadap hak-hak petani. Aksi demo ratusan petani asal Lumajang di lakukan di Pabrik Gula Pajarakan, Probolinggo. Mereka menuntut tidak ada lagi profit sharing yang selama ini dipaksakan oleh pihak Direksi dan investor selaku penjamin atas harga gula. Selama ini para petani tebu yang tergabung dalam APTRI merasa jadi sapi perahan (http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/02/15/dana-talangan-di-wilayah-kerja-ptpn-xi/).

"Misalnya pada tahun 2009, PTPN XI menggunakan harga talangan (dalam membeli gula petani). Sementara petani di pabrik gula lain tidak menggunakan (tergantung dinamika pasar), sehingga mereka bisa menikmati langsung kenaikan harga," kata Ketua Koperasi Simpan Pinjam Mitra Usaha Mandiri Koperasi Petani Tebu Rakyat Jember, Samuji Zarkasih, Senin (24/8/2009, www.analisapublik.com). Harga talangan pembelian gula Rp 5.350 per kilogram oleh pabrik. Gula itu lantas dilelang ke investor di Surabaya. Terakhir, harga lelang mencapai Rp 7.600 per kilogram. Selisih antara harga lelang dengan harga talangan di pengujung tahun akan diperhitungkan dan dibagi antara petani dengan investor, proposinya: 70 persen petani, 30 persen penyandang dana talangan.Petani tebu Jember sempat mengusulkan agar tak ada lagi dana talangan. Namun sebagian petani lainnya menolak. Pasalnya, dikhawatirkan panjangnya antrian penggilingan tebu membuat petani yang dapat giliran paling akhir tak bisa menikmati lonjakan harga yang terjadi di tengah musim giling. Samuji menampik kekhawatiran bahwa kenaikan harga gula saat ini disebabkan kelangkaan. Di Pabrik Gula Semboro PTPN XI, persediaan gula masih banyak. "Ada sekitar 20-25 ribu ton, namun itu sudah menjadi milik investor," katanya.

Sebagaimana point pertama, bahwa bagi hasil giling tebu petani menjadi rata-rata 68% untuk petani tebu dan 32% untuk PTPN (sebelumnya 66% untuk petani tebu dan 34% untuk PTPN). Sementara itu harga lelang rata-rata antara Rp. 8.500 - Rp. 8.900. PTPN XI sendiri menargetkan produksi gula pada tahun 2010 sebanyak 377.000.000 Kg, PTPN X sebanyak 525.000.000, dan PT RNI sebanyak 2.700.000.000 Kg. Dari harga lelang dengan HPP, rata-rata ada selisih sebesar Rp. 2.000. Berpatokan dari bagi hasil tersebut, keuntungan yang peroleh petani tebu di bawah koordinasi PTPN XI sebesar Rp.512.720.000.000, petani tebu dibawah koordinasi PTPN X sebesar Rp. 714.000.000.000, dan petani di bawah koordinasi PT RNI mendapat keuntungan sebesar Rp. 3.672.000.000.000.  Dari semua keuntungan tersebut, apakah semuanya masuk ke petani tebu ataukah organisasi petani tebu?

Ini merupakan fakta, bahwa dana talangan yang di dalamnya ada pembagian hasil keuntungan ternyata hanya di atas kertas saja. Uang  yang selama ini merupakan hasil pembagian keuntungan tidak pernah dinikmati sama sekali oleh para petani tebu. Justru mereka merasa, bahwa yang menikmati keuntungan adalah organisasi dan pengurus organisasi petani tebu. Dalam hal ini, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Propinsi Jawa Timur sudah paham, bahwa selama ini, teori pembagian hasil antara petani tebu dan investor hanya omong kosong saja. Ini menjadi persoalan yang tidak pernah serius dituntaskan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemprop Jatim.

Selain adanya penolakan pembagian keuntungan, petani tebu juga menolak ketentuan HPP dikeluarkan oleh Deperindag. Menurut mereka, Biaya Pokok Produksi (BPP) berdasar perhitungan petani tebu mencapai Rp 6.850, sedangkan menurut perhitungan Dewan Gula Indonesia, BPP sebesar Rp. 6.250. Dengan patokan BPP dari Dewan Gula tersebut, akhirnya Pemerintah Pusat menetapkan HPP sebesar Rp. 6.350. Padahal, perhitungan BPP itu sendiri merupakan dasar bagi investor memberikan dana talangan kepada petani sebagai modal melanjutkan usaha tani tebu. Artinya, dari ketentuan HPP sebesar Rp. 6.350, petani tebu hanya memperoleh keuntungan Rp. 100/Kg. Keuntungan ini sangar merugikan petani tebu. Menurut Petani Tebu, HPP yang ditetapkan Memperdag seharusnya Rp 7.500 per kilogram. Apalagi harga gula eceran mencapai Rp 9.500 - Rp 10.500 per kilogram. Dengan hanya menetapkan HPP Rp 6.350, ada selisih harga sangat besar, antara Rp 3.150 - Rp 4.150. Selisih harga sebesar itu bakal dinikmati oleh pedagang. Selisih harga yang ideal untuk margin keuntungan pedagang seharusnya Rp 1.500 per kilogram.

Terkait dengan program peningkatan produktivitas gula, sebenarnya program tersebut sudah berjalan berupa penambahan kapasitas giling tebu. Misalnya semula mampu menggiling 5000 TCD (Ton Cain Day) menjadi 7000 TCD atau 50.000 kwintal tebu per hari menjadi 70.000 kwintal tebu perhari. Dan saat ini, program ini sedang berlangsung di PTPN XI di Pabrik Gula Jatiroto dan Pabrik Gula Semboro tahun 2008 dan saat ini kemungkinan sudah selesai. Dan program ini serupa sudah berjalan di PTPN X. Dengan meningkatnya kapasitas giling maka diharapkan masa giling dari yang biasanya 180 hari bisa hanya 90 hari dan rendemen pada kondisi optimum. Sedangkan untuk penggantian peralatan pabrik gula yang sudah tua (Peninggalan Belanda) sebenarnya pada pengamatan kami di lapangan pihak pabrik gula sudah melakukannya setiap tahunnya dengan sistem kanibal secara rutin.  Kalau dilakukan secara radikal (penggantian total)  akan memakan biaya yang sangat banyak (sekitar Rp.500 Miliar sampai dengan Rp. 1 Triliun). Jadi menurut hemat kami, peralatan yang ada sudah cukup memadai dan bisa menciptakan gula yang relatif tinggi (minimal 8%). Hal ini sudah terbukti  di Pabrik Gula-Pabrik gula di lingkungan PTPN X, PTPN XI, RNI dan swasta (Kebon Agung dan Krebet di Malang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun