Mohon tunggu...
Yuni Cahya
Yuni Cahya Mohon Tunggu... Bankir - belajar berdamai dengan diri sendiri

sederhana saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Putri Salju

9 Mei 2013   00:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:52 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sehabis isya, gerimis turun. Orang kampung jadi malas keluar. Kalau tidak ngobrol di dalam rumah, ya tidur, itu saja pilihannya. Tidak terlalu deras, tapi air yang menimpa genting rumah, dan mengumpul di talang pipa, terdengar betul gemericiknya saat jatuh ke tanah. Menetesi sebagian kerikil batu. Bunyi yang khas dan memantul.

Aku masih bersarung, membuka pintu depan, memberi jalan bagi angin yang membawa butir lembut air hujan. Dingin menerpa kulit wajah. Sesaat tercium aroma tanah debu yang basah.

Teras rumah ini telah berubah sejak aku pergi ke Jakarta beberapa tahun lalu. Dulu, tanah liat masih menjadi pijakan utama. Batu jalan menjorok ke halaman rumah dan tidak memberi ruang bagi anak tetangga bermain. Tapi toh mereka tidak perlu kawatir, karena jalan yang berbatu membuat truk pengangkut tebu tidak dapat berlari kencang. Tapi sekarang sudah diubah. Jalanan aspal halus. Semua motor dan mobil melaju cepat, membuat orang tua melarang anaknya bermain di depan rumah.

Bapak menanam sebuah pohon cerry yang sudah tumbuh kuat di depan teras. Sebagai pembatas dengan aspal, “Sekaligus menghadang debu jalanan”, kata Ibu. Jalan aspal ini perlahan sudah mengurangi keakraban hidup bertetangga, kurasa.

Udara malam ini dingin. Kupandang ke selatan dan utara, pintu rumah tetangga sudah tutup, meski lampu mereka masih menyala. Jalanan sepi dan kosong. Air gerimis yang turun terlihat jelas dari terang neon di atas jalan. Bergaris putus-putus dan menjatuhi aspal yang mengkilat karena pantulan sinar lampu.

Aku duduk di teras bersandar dinding kayu. Setoples kue kering menemani. Tadi kuambil dari lemari makan, sisa kue lebaran yang tidak habis. Ibu senang aku mau memakannya, karena di rumah sudah tidak ada lagi yang mau makan, “Sudah bosan”, kata Ibu.

Aku pernah melihat dibuku resep, kue ini bernama Putri Salju. Warnanya putih, dibuat dari tepung yang dicampur adonan gula, telur dan parutan kelapa. Entah persisnya bagaimana, aku sendiri tidak bisa memasak. Tapi meski namanya sekeren itu, tetap saja aku menganggapnya kue lebaran biasa, yang memang dari jaman aku SD dulu sudah dibuat oleh tiap orang yang merayakan lebaran. Disini orang menyebutnya jajan pan-panan. Bahasa Jawa. Pan berarti oven atau tempat memanggang. Jadi, jajan pan-panan berarti kue hasil panggangan. Aku tersenyum mengingatnya. Sebenarnya aku juga tidak terlalu suka kue ini, biasanya dua potongan saja sudah eneg. Tapi hari ini, setengah toples Putri Salju yang kering itu sudah pindah ke perutku.

Masih gerimis. Satu dua motor melintas cepat. Jas hujan yang dipakai pengendaranya berkibar menerpa angin. Sebenarnya aku ingin bertemu dengan tetangga. Siapapun, sekedar untuk ngobrol dan mengetahui kehidupan mereka sehari-hari selama ini. Aku benar-benar haus interaksi sosial disini. Rindu suasana yang berbeda dengan cara bertetangga orang-orang di Jakarta.

Disini, bertamu ke sebelah rumah, masuk, dan sudah menganggap seperti rumah sendiri. Duduk mengangkat satu kaki ke kursi, mengambil kue tanpa disuruh, dan tertawa ngakak saat ada kata-kata lucu yang lagi diobrolkan. Tapi, dua minggu sudah aku di rumah ini, dan sulit sekali mendapati suasana yang seperti dulu. Apa orang-orang sekarang juga mulai sibuk sendiri-sendiri, hingga larut malam, seperti orang-orang di Jakarta. Dan begitu sampai rumah, mereka menutup pintu, lelah, tidur. Tidak ada kesempatan lagi untuk ngopi dengan tetangga.

Ah, gerimis ini kok jadi membuat sentimentil.

“Assalamualaikum, Hersen yaa..”.

Aku kaget, dari sebelah kanan, depan pohon cerry, seorang memakai payung dan kerudung menyapa.

“Waalaikum salam, siapa ya”

“Aku, Putri, lupa ya…”

“Putrii…ya ampun, ayo ayo masuk…masuk sini Put, sorry, sorry, pangling hehe”.

Aku menjabat tangannya. Putri, teman semasa sekolah SD, SMP dan SMA. Di setengah gelap begini, aku tadi betul-betul tidak mengenali wajahnya.

“Kok bisa pangling sih Sen, kebanyakan cewek cakep di Jakarta yaa…”, dia ketawa kecil menggodaku.

Aku senyum, jadi salah tingkah. “Nggak gitu Put, kamu beda sekarang”.

“Beda apanya”

“Ya…jadi.. cakep gitu”.

“Huuu…gombal”.

Kami tertawa bersama. Aku mengajaknya masuk ke ruang tamu, tapi dia tidak mau. Malah duduk bersandar didinding kayu sebelahku.

“Aku nggak lama-lama kok”, katanya seraya mengambil Putri Salju dari toples.

Memakai jeans dan jaket tebal, Putri ini cantik. Sejak kecil sudah cantik dan lincah. Kami satu kelas terus semasa SD. Memang sekolah SD di desa begini, ruang kelasnya cuma satu di tiap tingkatan. Jumlah siswanya total satu kelas juga nggak sampai 25 orang. Dulu, dia suka tiba-tiba pindah duduk disebelahku saat mata pelajaran Matematika. Aku jagoan dibidang itu. Giliran pelajaran Ketrampilan, aku kewalahan, dan dialah jagonya. Tapi aku gengsi, nggak mau mendekati dia. Dan akhirnya nilai Ketrampilan-ku tak pernah naik dari angka enam.

“Dari mana tadi Put”.

“Dari Tugu, mau beli sate buat anak-anak, tapi warungnya tutup”.

Loh, dia sudah punya anak toh? Tapi aku diam saja. Pura-pura sudah tahu. Aku memang tidak tahu sama sekali perkembangan desa ini. Bukannya tidak mau tahu, tapi kerja di kota besar dengan sebegitu padat beban kerja, telah mendominasi ruang pikir dan hidupku selama ini. Aku juga jarang bisa dapat waktu luang untuk pulang. Minggupun masih masuk kerja.

Tugu yang dimaksud Putri adalah pertigaan disebelah selatan rumahku. Sekitar seratus meter. Disana ada warung nasi, bakso, sate ayam dan mangkalnya tukang ojek. Tapi dari sini, sedari tadi, aku melihatnya juga sepi. Tak nampak lampu-lampu kedai yang biasanya terang.

“Kapan datang dari Jakarta Sen”, dia melihat ke jalanan yang basah.

“Ee, sudah seminggu ini”, aku menengok wajahnya. Putih, agak pucat, dengan juntaian rambut yang kurang tertata. Kerudung agak bergeser ke bawah pundaknya. Kecantikannya membuatku teringat jaman lalu. Selepas SD kami meneruskan ke SMP di kota kecamatan, sekolah yang sama, tapi kelas sudah berbeda. Meski tak satu kelas, tapi aku selalu menunggunya saat bel pulang, dan kami mengayuh sepeda bersama-sama. Hampir tiap hari, berangkat pagi dan pulang siang, kadang menjelang ashar. Orangtuanya menganggapku seperti anak sendiri. Aku bebas main dan belajar di rumahnya, makan sendiri di dapur, dan menimbakan air buat dia mandi di sore hari. Kami seperti saudara.

“Cewekmu mana, gak diajak kesini”, dia menatapku.

“Emmm, belum punya, hehe”, aku menunduk, dia tersenyum.

“Santai saja, jangan sampai menyesal dikemudian hari”, katanya pelan.

Sebenarnya aku tidak nyaman dengan situasi ini. Putri sudah besuami, kalau dia mampir menemuiku sendirian dimalam gerimis begini, apa kata orang. Di Jakarta, hal begini bukan masalah besar, tapi di kampung, sudah jadi pikiran yang kikuk bagi siapapun yang melihatnya. Apalagi, mereka yang tahu bagaimana kami dulunya.

“Suamimu nggak diajak Put”, padahal aku juga nggak tahu suaminya yang mana.

Dia diam sesaat, menatap datar ke tetes air hujan di batang pohon cerry. Aku jadi nggak enak. Kuambil lagi Putri Salju dari toples.

“Kami sudah nggak bersama-sama lagi”.

Ahh……

Orang tua kami sama-sama tak memiliki cukup uang untuk kami agar bisa kuliah. Lulus dari SMA, aku bekerja ke kota, dan dia tinggal di kampung. Aku memutuskan bekerja saja, agar paling tidak bisa mendapat uang untuk membiayai kuliah adik. Harus ada yang kuliah dari adik-adikku. Aku juga bercita-cita agar bisa kuliah suatu saat, ke luar negeri kalau perlu. Putri juga bercita-cita pengen keluar negeri, tapi tidak untuk kuliah. Tidak juga untuk menjadi TKW seperti bibinya yang pernah ke Jepang dan Korea Selatan. Putri ingin ke luar negeri hanya untuk melihat salju turun di musim dingin.

Suatu sore, dua tahun setelah tidak bertemu Putri yang cantik, adikku yang kuliah ke kota, pernah membawakan surat dari Putri buatku.

… Sen, aku tahu kamu ingin menganggapku lebih dari sekedar kawan. Dan aku juga mengharapkan itu terjadi. Tapi aku juga ngerti, kamu tidak punya cukup keberanian untuk menyampaikannya. kamu merasa belum mampu melakukannya ya? Kamu harus membiayai adik-adikmu dulu kan? Maaf, aku jadi sok tahu. Aku sebenarnya putus asa Sen. Dan aku lelah. Aku lemah dan tidak berdaya. Ibu membebaniku dengan bayang-bayang pria lain. Maafkan aku…

Isi surat yang lain aku lupa, dan juga tidak berusaha mengingatnya. Tapi sekarang, jadi ingat lagi semuanya.

“Nggak ngajak anak-anak saja Put”.

“Nggak, tidur sama neneknya. Hujan-hujan begini….”

Sebuah mobil pick-up tua berwarna abu-abu melintas. Suara mesinnya kasar. Bak belakang kosong, hanya ada terpal tergulung yang biasanya dipakai untuk menutupi sayuran yang akan dibawa ke pasar induk.

Pernah suatu hari kami pulang sekolah kesorean. Saat itu SMA kelas tiga dan ada pelajaran tambahan untuk persiapan EBTANAS. Semua siswa lain juga pulang terlambat. Tidak ada lagi angkutan pedesaan yang beroperasi. Hampir maghrib sudah. Kami tidak lagi mengayuh sepeda saat SMA, karena sekolahnya terlalu jauh. Lagian, sudah ada angkutan pedesaan. Tapi hari itu kami hampir kemalaman. Ada sekitar lima anak dengan tujuan arah yang sama. Kamipun sepakat untuk numpang mobil apapun yang lewat ke arah rumah kami. Jarak sekolahan dengan desaku sekitar sembilan kilometer. Dan, sebuah pick-up abu-abu berbaik hati memberi tumpangan. Aku membantu Putri naik ke bak belakang. Tapi aku terburu-buru. Saat Putri naik, pegangan tanganku lepas dari kakinya, sehingga dia tidak berdiri sempurna. Kaki kanannya terpeleset, dan dia jatuh terduduk di bak pick-up itu. Anak-anak tertawa, karena bak pick-up penuh kotoran sapi dan kambing. Rupanya ini pick-up yang biasa ke pasar hewan. Rok belakang Putri berlepotan. Dia cemberut memandangku. Aku geli.

Sekian tahun lewat, kini, di teras rumah ini, Putri menatapku, dan bersuara pelan,”Aku kangen kamu Sen”.

Aku tidak bisa menemukan ucapan untuk membalasnya. Kualihkan pandangan mata ke daun-daun cerry yang basah.

Putri memegang jari tanganku, dan bediri,”Aku pamit ya, sudah larut. Assalamualaikum”.

“Wa..waalaikum salam”, aku ikut berdiri.

Dia membetulkan letak kerudungnya. Mengangkat payung, dan tersenyum sebelum berbalik melangkah ke jalan aspal.

“Salam ke keluarga Put”.

Dia menoleh, tersenyum lagi, dan menghilang di gelapnya gerimis.

Aku sudah tidak melihatnya di ujung jalan aspal itu, tapi aku masih berdiri memandang jauh kesana. Perjumpaan yang singkat, mengisi hati dengan kilasan masa lalu. Senyumnya hangat, senyum yang sama seperti saat dia gembira ketika aku pernah membetulkan PR Matematikanya dulu. Seandainya waktu bisa kembali, aku memilih untuk tidak pernah meninggalkannya. Tidak akan pernah.

“Ngomong sama siapa Sen”, Ibu datang dari ruang TV.

“Sama Putri”, aku melangkah masuk rumah.

“Putri siapa”

“Putri, yang rumahnya diujung jalan, teman SD dulu itu”.

Ibu menahanku,”Sen, jangan bercanda. Putri kan sudah meninggal”.

“Apa”

Ibu berbisik perlahan,”Ibu belum ngasih tahu kamu ya. Putri bunuh diri setahun lalu, nggak tahan karena tengkar terus sama suaminya yang suka selingkuh itu. Ayo masuk, tutup pintunya, ceritanya besok saja”, Ibu masuk ke kamar.

Aku melihat keluar pintu, masih gerimis. Di toples yang kubawa, tidak ada lagi Putri Salju tersisa.



Dikutip dari kumpulan cerpen : Hersen S Nugroho

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun