Mohon tunggu...
Yuni Cahya
Yuni Cahya Mohon Tunggu... Bankir - belajar berdamai dengan diri sendiri

sederhana saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buku Harian Bapak

30 Maret 2020   11:48 Diperbarui: 30 Maret 2020   11:55 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada perasaan yg tiba-tiba terasa sesak di dada. Saat Dia mendapati kenyataan bahwa Dia telah terbangun tetapi masih terpekur di ujung kamar meringkuk dalam mimpi yg semalaman membuai.
Mimpi menemukan kaos berkerah berwarna biru dongker garis-garis. Dia ciumi sesaat dan kemudian dilipat rapi. Dia mengenal betul aroma di kaos itu. Yup, aroma khas Lelaki Hujan. Samar-samar Dia menangkap pertanda itu. Akan ada sesuatu buruk yang terjadi.

"Biarlah kita terluka, karena banyak hati yang harus kita jaga. Percayalah pada semesta, suatu saat luka itu akan terganti dengan bahagia."
Dia menuliskan berderet kalimat itu di note ponselnya, dengan air mata berderai. Selang sehari setelah Dia bermimpi menemukan kaos itu di kamarnya. Dia tidak menangisi takdir yang digariskan Tuhan, bukan pula karena kepergian Lelaki Hujan dari hidupnya. Tetapi Dia menangisi kebodohannya sendiri. Yang telah membiarkan Lelaki Hujan itu mengetuk pintu dan memasuki rumah dan hatinya.

Entah aura macam apa yang sebenarnya Dia miliki. Banyak lelaki datang silih berganti, mencoba menggoda dan mengetuk pintu hatinya berkali-kali. Dia bukan tipe perempuan yang gampang luluh hatinya. Dia lebih suka mengejar daripada dikejar. Lebih suka mencintai daripada dicintai. Lebih suka memuaskan daripada dipuaskan.

***

"Bertahan untuk tetap mencintaimu itu mudah.
Bertahan untuk selalu membersamaimu itu yg berat.
"Jangan pernah bilang berat, karena semua pasti bisa dilalui" sanggahmu pasti begitu. Ahh.. aku benar2 tak bisa menebak masa depan. Selalu dan selalu berkali-kali aku ucapkan, aku perempuan. Ingatlah ibumu, istrimu, anak-anakmu. Bayangkan posisiku ada di mereka. Relakah engkau? Apakah engkau akan baik-baik saja?
Kenyataan pasti tidak semudah bayangan. Lebih berat.
Kita sudah saling menyayangi begitu dalam.
Saling bertukar rasa dan cerita terlalu banyak.
Jika tiba-tiba yang dalam dan banyak itu hilang sudah pasti akan sangat menyakitkan. Aku sadar betul akan itu.
Tapi bisa kan pelan-pelan kita lakukan?
Dan kita harus melakukan itu bersama-sama.
Mulai kapan? Mulai dari sekarang.
Demi apa? Demi kebaikan kita semua.
Saling melepas dan mengikhlaskan. Melepas bisik nafsu buruk dan mengikhlaskan rasa yang tak semestinya.
Insya Allah semua pasti akan menjadi lebih baik."

***

Diaza Cicero, nama yang indah itu begitu pantas dimiliki perempuan sederhana tetapi memiliki aura memikat yang luar biasa. Cicero merupakan nama seorang filsuf Yunani kuno. Bapak Dia adalah seorang dosen filsafat di sebuah Universitas Negeri di Jogjakarta. Begitu sayangnya Bapak terhadap Dia, membuat Dia juga begitu patuh dan hormat terhadap Bapak. Bapak yang telah membesarkannya seorang diri selepas SMA.

Hari itu tepatnya hari Jumat. Dimana disebutkan dalam Al Quran bahwa kelak kiamat akan terjadi di hati Jumat. Bagi Dia kiamat sudah terjadi di hari itu. Hari Jumat kedua di Bulan April, di tahun yang usianya memasuki 30 tahun. Lelaki hujan meninggalkannya hanya dengan isyarat satu kedip mata. Tersenyum dalam satu kuluman dan hilang dalam deras hujan. Tubuhnya mendadak luruh bagai tanpa tulang. Sesuatu yang sangat amat menyakitkan itu terjadi lagi. Dia benci itu.

***

Postur tubuhnya ideal. Tidak terlalu tinggi pun tidak terlalu pendek. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung. Bibirnya merah. Rahangnya terlihat tegas. Alisnya tebal. Dan mempunyai sorot mata yang tajam. Jangan tanya kualitas ibadahnya, sangat terjaga. Dialah Muhammad Raul Prasetyo.

Hari ini Ra tidak begitu nafsu menyantap sajian makanan di depannya. Semangkok mie ayam dengan 2 ceker ayam yang biasanya habis dalam sekejap, terasa hambar rasanya di lidahnya. Ra masih bergeming memandang hujan lebat yang sedang turun. Di warung tenda langganannya Ra berteduh sekalian mengisi perut yang sedari tadi sebenarnya keroncongan. Masih terbayang sosok Bidadari Pagi yang semakin lekat dimatanya. Perempuan yang baru dia kenal 5 bulan belakangan. Benar-benar telah meporak porandakan hatinya, termasuk janji kesetiaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun