Mohon tunggu...
Eddy Suryodipuro
Eddy Suryodipuro Mohon Tunggu... Penulis - Warga NU

● Integrity is doing the right thing ●

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengaji Zaman "Old"

3 November 2017   10:13 Diperbarui: 3 November 2017   10:38 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana setelah tabligh akbar tahun 1988 di sekretariat Masjid. (Ki-Ka: Alm. Bapak Saya; Alm. Abah Juned; Unknown; Unknown; Alm Pak Solihin)./Foto Koleksi Pribadi

Di era tahun 80-an, pendidikan agama di luar sekolah formal di Jakarta begitu dominan, hal ini disebabkan tidak optimalnya pendidikan agama di sekolah-sekolah formal. Sehingga banyak orang tua pada saat itu yang menitipkan anak-anaknya untuk memperdalam ilmu agama di madrasah-madrasah dan juga pengajian-pengajian privat. Harapan orang tua yang tidak "berani" menitipkan anaknya di Pondok Pesantren adalah agar anak-anaknya tetap bisa mengenal agamanya dengan baik dan tentunya dengan jarak yang tidak harus berjauhan dengan orang tuanya.

Hal ini yang pernah saya alami, sekitar tahun 1987, Bapak saya sudah mendaftarkan saya ke salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur, perdebatan muncul antara Bapak dan Ibu saya ketika itu, karena Ibu tidak mau anaknya harus menempuh pendidikan agama dengan jarak antar kota yang sangat jauh, terlebih usia saya saat itu masih sangat muda. 

Berhari-hari Ibu menangis, meratapi keputusan Bapak yang berniat mengirim saya ke Pondok Pesantren. Hingga pada akhirnya Bapak mengalah untuk membatalkan niatnya mengirim saya ke Pondok Pesantren, tentunya dengan banyak catatan dan syarat yang disampaikan kepada Ibu saya, syarat yang menurut saya berat saat itu adalah tidak ada waktu bermain yang panjang untuk saya seperti kebanyakan anak-anak kecil pada masanya. Selepas pulang sekolah formal, saya diharuskan melanjutkan belajar agama ke madrasah, kemudian ba'da ashar saya ngaji privat hingga menjelang magrib dan ba'da magrib saya mengaji turutan di Masjid dekat rumah.

Alur kegiatannya seperti ini:

06.00-12.00: Sekolah Formal

13.00-16.00: Madrasah

16.30-17.30: Ngaji Privat

18.00-19.00: Ba'da Sholat Magrib, Ngaji turutan

Jadi bisa dibayangkan masa kecil saya begitu keras dan penuh dengan energi kedisiplinan yang diterapkan oleh orang tua, waktu bermain hanya diberikan pada saat hari libur saja, tidak bisa sesuka hati bebas bermain seperti anak-anak lainnya, belum lagi di luar jam-jam tersebut saya masih harus mengerjakan PR sekolah, tentunya sudah makin sulit ada waktu luang di hari-hari biasa.

Zaman sekarang justru beda, sulit mengarahkan anak-anak seperti zaman old. Bisa sekolah formal, madrasah dan ngaji privat, saat ini sekolah formal sendiri saja sudah menyita waktu yang lebih lama, bayangkan dari jam 6.30 hingga jam 14.00 bahkan jam 15.00 baru bisa pulang dari sekolah formal, dan karakter anak zaman sekarang juga beda, sedikit dikerasin sudah "bersembunyi" di balik tubuh Ibunya minta perlindungan. Terlebih saat ini madrasah-madrasah yang dulu pernah ada beberapa diantaranya telah berubah fungsi menjadi sekolah formal, bahkan di Masjid dekat rumah sudah tidak ada lagi pengajian turutan yang biasanya diadakan setelah sholat magrib.

Miris?, tentu saja iya, berubahnya pola-pola pendidikan agama yang dulu pernah ada mungkin disebabkan dengan semakin banyaknya tempat-tempat pendidikan agama yang lebih modern, dan biasanya berdasarkan komunitas dan kelompoknya, pendidikan agama merupakan karakter terpenting yang harus bisa dimiliki oleh seorang Muslim. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun