Kisah sebelumnya :Rindu di Dalam Kalbu (1)
Hubungan "anak" dan "orang tua" tersebut kami jalani hingga saya berumah tangga dan memiliki tiga orang anak. Apapun kesulitan yang saya hadapi dalam kehidupan selalu dibantu oleh beliau, beliau sering memberikan saran, tausiah dan ilmu-ilmu hikmah sebagai bekal untuk menghadapi segala cobaan dan ujian hidup. Saya merasakan begitu ringan (meski sesungguhnya berat) semua ujian dan cobaan hidup saat beliau ada, bukan hanya saya yang merasakan tapi juga teman-teman seperguruan pun merasakan hal yang sama.
Akhir cerita, ketika beliau mendapat kabar bahwa kakak kandung beliau meninggal (Rabu, 29 Juli 2015), saat itu sebenarnya saya ingin minta tolong kepada beliau, karena anak kedua saya sedang dirawat di rumah sakit, sebelum beliau berangkat ke kampung untuk mengurus jenazah kakaknya, beliau menghubungi saya melalui sambungan telepon, dalam percakapan tersebut beliau berpesan kepada saya untuk selalu tabah dan sabar dalam menjalankan hidup, pesan beliau yang lain adalah jangan sungkan-sungkan ke Allah, minta tolong hanya kepada Allah, minta obat hanya kepada Allah, minta apapun hanya kepada Allah.
Sampai di rumah, saya merebahkan badan karena lelah dan tertidur pulas, hingga dering handphone berbunyi tepat jam lima subuh (Kamis, 30 Juli 2015) dan membuat saya terbangun, adik saya mengabarkan bahwa Mang Yayat sudah meninggal, bagai petir di pagi yang sangat buta, kabar itu membuat saya shock, seakan tidak percaya karena satu hari sebelumnya beliau menghubungi saya dan memberikan beberapa wejangan.
Saya mencoba menghubungi beberapa teman seperguruan, memastikan kebenaran kabar yang saya terima dari adik saya, dan "boom"... dada saya sesak, sekali lagi saya merasa tidak percaya, saya tepuk pipi saya dan berharap ini cuma mimpi. Kabar dari kampung yang saya terima bahwa beliau meninggal selepas pengajian untuk mendoakan kakaknya yang meninggal. Pagi itu juga, saya dan keluarga serta Bang Dodi (teman setia saya) berangkat ke kampung beliau, untuk memberikan penghormatan terakhir dan mengucapkan terima kasih.
Jakarta, 6 Oktober 2017
Eddy Suryodipuro
Baca juga:
- Puisi | Habis Gelap Terbitlah Jiwa yang Tenang
- Puisi | Senja di Beranda Rumah Tua