Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Menulis gaya hidup dan humaniora dengan topik favorit; buku, literasi, seputar neurosains dan pelatihan kognitif, serta parenting.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lakukan Ini untuk Kuliah dengan Bahagia dan Sehat di China

26 Juni 2022   01:06 Diperbarui: 26 Juni 2022   01:30 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa China pukul 07.00 pagi telah mengantri di depan salah stau ruangan perpustakaan bahkan sebelum ruangan tersebut dibuka. (Dok.Probadi)

Tinggal sebagai pelajar asing di negara dengan ironi seperti China menuntut kesiapan mental tingkat tinggi.

Semenjak kasus pertama Covid-19 terdeteksi di Wuhan China, dunia menjadi berisik tentang bagaimana laku hidup warga negara dengan populasi terbanyak di dunia ini. Orang-orang mengulik tentang standar kebersihan hingga perilaku masyarakat China. Blow up media juga telah memperparah asumsi dan prasangka terhadap China dan gaya hidup masyarakatnya.

Tulisan ini tidak ingin masuk dalam arus perbincangan yang berisik tersebut. Melainkan ingin sekedar membagi pengalaman hidup selama 4 tahun merantau di Negeri Tirai Bambu itu. 

September 2012, kali pertama saya menginjakkan kaki di sebuah Nanjing, sebuah kota di Provinsi Jiangsu China.  Kesan pertama saya, excited,  asing dan  kaget. Ya, saya bersemangat karena saya yakin sebagai seorang gadis timur yang mengandalkan beasiswa untuk bisa bersekolah ke luar negeri, ini akan menjadi petualangan seru. 

Rasa asing, karena saya yang di tanah air menjadi bagian dari masyarakat mayoritas sekonyong-konyong menjadi minoritas, apalagi dengan lilitan hijab di kepala saya. Dan rasa kaget tentu saja, karena banyak sekali kebiasaan masyarakat China yang baru saya tahu ketika melihat langsung.    

Tinggal sebagai pelajar asing di negara dengan ironi seperti China menuntut kesiapan mental tingkat tinggi. Karena China selayaknya negara dengan dua sisi mata uang. Di satu sisi, mempertahankan tradisi kuno yang menjadi ironi peradaban modern, di sisi lain ia menjadi lokomotif modernitas dunia itu sendiri. 

Segalanya menjadi sangat berbeda di China. Nilai-nilai, perilaku, kesehatan pribadi, kesehatan masyarakat dan keselamatan serta hal-hal lain seperti perbedaan musim dan pergantian siang dan malam, terasa begitu mencolok.  Apalagi bagi mereka yang tidak terbiasa dengan mobilitas serba cepat, dan tradisi serba ketat yang digadang-gadang dalam sistem kehidupan di China, maka jangan pernah berpikir untuk menetap bahkan belajar banyak dari negerinya si Jet Li ini.

Kabar baiknya adalah, lingkungan China sebenarnya adalah lingkungan paling tepat untuk belajar. Karakter masyarakat China dengan disipilin tinggi dan kemauan keras untuk menaikkan taraf hidup setiap individu adalah sejalan dengan tujuan paling dasar dalam proses edukasi. Dan kabar buruknya adalah, ini berarti tingkat kompetisi masyarakat China termasuk para pelajarnya tergolong sangat tinggi. Dan sepertinya tingkat persaingan itu menjadi momok menakutkan ketika mendengar tingkat populasi China yang membludak.

Tak salah lagi, tekanan terhadap mahasiswa asing yang hidup di China sangat besar, terlebih bagi mereka yang dibiayai keseluruhan hidupnya oleh beasiswa. Adaptasi besar-besaran memang tidak bisa di tawar-tawar lagi, adalah hal wajib. 

Ritme hidup seperti begadang mengerjakan tugas yang menumpuk hingga kehilangan waktu tidur. Waktu istirahat yang diisi total dengan mengerjakan lebih banyak tugas. Kemampuan bahasa mandarin yang mau tidak mau harus dimiliki, serta menahan diri untuk mengikuti segala aturan yang dibebaskan seluas-luasnya di negara asal.  Belum lagi bagaimana kita mengatasi kesendirian bila kita tidak memiliki teman senegara asal yang bisa memahami dan merasa sepenanggungan hidup di negara rantau. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun