Tiga hari yang lalu, saya dihubungi mantan teman kerja, Irma namanya. Dulu kami sama-sama menjadi trainer untuk anak-anak yang memiliki kesulitan belajar di sebuah lembaga pendidikan berbasis neurosains. Kini ia adalah guru di sebuah lembaga pendidikan lainnya. Lama kami tak bertemu, namun silaturahmi kami terus terjaga.
Ia menelpon untuk meminta saya menjadi guru tamu dan mendongeng untuk murid-muridnya di TK B. Selama masa pandemi, teman saya itu tetap menjalankan Teaching From Home, mengajar dari rumah, menggunakan aplikasi Zoom dengan murid-murid TK nya.
Saya sangat excited, tawarannya langsung saja saya terima. Selain karena memang berniat membantu Irma dan menyambung terus silaturahmi kami, sudah lama sekali sejak terakhir kali saya membawakan cerita untuk anak-anak. Saya merasa ini akan jadi pengalaman yang mengasikkan.Â
Lewat WhatsApp, Irma lalu mengirimkan saya sebuah file berisi cerita yang perlu saya pelajari. Saya pun bersiap melakoni tugas mendongeng itu dengan penuh semangat.
Keesokannya, Irma memberikan saya tautan Zoom Meeting. Irma berpesan, ketika sudah tersambung jangan dulu mengaktifkan fitur kamera saya, karena itu akan memecah konsentrasi murid-murid.Â
Ternyata sesi mendongeng adalah sesi terakhir dari rangkaian 2 jam kelas online TK B hari itu. Saya diberikan waktu 30 menit untuk mendongeng.
Sambil menunggu sesi mendongeng dimulai, saya memperhatikan murid-murid Irma. Mereka sesekali sangat serius memperhatikan, tapi lebih banyaknya terdistraksi dengan tingkah polah teman mereka yang lain di layar Zoom atau juga dengan hal lain di rumah mereka. Kelas online itu menjadi begitu semarak.Â
Irma dan seorang rekan mengajarnya harus menggunakan ekspresi dan gerakan tubuh yang eksesif untuk membuat anak-anak itu terus engage. Beberapa kali saya menahan tawa menonton anak-anak yang lucu itu, serta aksi mengajar Irma dan rekannya.Â
Namun sesaat kemudian sesi saya dimulai, kamera saya pun diaktifkan. Dan akhirnya giliran saya yang harus mendongeng dan berusaha menarik perhatian mereka ke layar Zoom.Â
Sesi 30 menit itu akhirnya molor karena dalam dongeng, saya berusaha untuk berinteraksi dan menunggu jawaban dari para murid, yang ternyata tak semulus yang saya rencanakan.