Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Menulis gaya hidup dan humaniora dengan topik favorit; buku, literasi, seputar neurosains dan pelatihan kognitif, serta parenting.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Memahami Lelucon Remeh di Negara Ini Lewat Karya Milan Kundera

25 September 2019   22:28 Diperbarui: 26 September 2019   14:56 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca tumpang-tindihnya informasi tentang demonstrasi di media sosial, cukup bisa menaikkan tensi darah. Saya lalu memilih untuk beralih melihat kembali buku-buku yang menumpuk untuk diulas.

Membaca buku dan menulis biasanya berhasil meregangkan syaraf dan mengurangi kadar kortisol saya.

Pilihan jatuh pada The Festival of Insignificance karya Milan Kundera. Karya itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Pesta Remeh-Temeh. Kebetulan buku yang saya tamatkan di sekitar bulan April itu saya rasa tepat untuk diulas hari ini.

Tokoh-tokoh utama novel ini adalah empat sekawan. Alain, Ramon, Charles, dan Caliban. Keempat-empatnya mengalami hal-hal sepele yang sebenarnya menyebalkan untuk dibahas dan didengar, namun menjadi menarik untuk diikuti seiring penceritaan Kundera yang akut, mendalam dan penuh ironi.

Karakter-karakter itu adalah anomali, karena masing-masing memiliki isu yang serius namun sepele. Kisah-kisah mereka bisa dibilang lucu dan tragis pada saat yang bersamaan.

Ada dua hal remeh yang berkesan bagi saya. Yang pertama adalah keremehan dari tokoh Alain yang mempertanyakan pergeseran daya tarik seksual, dimana lelaki seringkali mengarahkan ketertarikannya pada bagian tubuh  perempuan seperti paha, payudara dan bokong. Namun tokoh Alain justru tertarik pada udel alias pusar.

Keremehan kedua adalah cerita tentang 'teater boneka manusia' yang digarap tokoh Caliban dan Charles yang mengangkat kisah Joseph Stalin.

Iya, Stalin yang kita kenal sebagai pemimpin diktator kejam, gila kekuasaan, maniak dan tidak berperikemanusiaan itu, diejek oleh Caliban dan Charles sebagai penyebab matinya lelucon. Yakni, ketika Stalin menyampaikan leluconnya di hadapan pasukannya dan tidak ada satupun dari mereka yang bisa menangkap bahwa itu adalah lelucon.

Dari Alain saya belajar bahwa hal-hal yang bagi kita remeh, mungkin bagi orang lain adalah inti kehidupannya. Dari Caliban dan Charles saya belajar menertawakan ironi kehidupan saya sendiri.

Selain itu ada kutipan yang sangat filosofis dari tokoh Ramon kepada kawannya D'Ardelo:

"Keremeh-temehan, kawanku, adalah esensi dari eksistensi. Semua itu ada di sekitar kita, dan di mana-mana serta senantiasa. Keremeh-temehan hadir bahkan ketika tak ada yang ingin melihatnya: di dalam kengerian, di dalam peperangan yang berdarah-darah, di dalam bencana paling buruk. Seringkali dibutuhkan keberanian untuk mengakui keremeh-temehan dalam situasi-situasi yang begitu dramatis, dan menyebut keremeh-temehan itu sesuai dengan namanya. Tapi bukan hanya soal mengakui keremeh-temehan itu, kita harus belajar mencintainya".

"Di sini, di taman ini, di hadapan kita---lihatlah, kawanku, keremeh-temehan hadir di sini dalam segala kejernihannya, dalam segala kepolosannya, dalam segala keindahannya. Ya, keindahannya. Sebagaimana yang kau sendiri katakan: sebuah pertunjukan yang sempurna. . . dan sama sekali sia-sia,anak-anak tertawa. . . tanpa tahu apa sebabnya---bukankah itu indah? Hiruplah, D'Ardelo kawanku, hiruplah keremeh-temehan yang ada di sekitar kita ini, itulah kunci kebijaksanaan, itulah kunci dari suasana hati yang menyenangkan. . ."

Selepas membaca kutipan itu, saya kembali menoleh pada sosial media, dan menyadari betapa begitu banyak hal remeh yang dipertontonkan di sana.

Tentang mahasiswa dan tulisan-tulisan lelucon mereka akan DPR. Tentang wakil-wakil rakyat yang tidak mau turun menemui tuan rakyatnya karena takut anarki.

Tentang anak-anak STM dengan seragam putih abu-abu yang semangat aksi, minim narasi dan mungkin tidak sadar sedang ditunggangi.

Tentang presiden yang kepadanya saya titipkan suara saya di pemilihan kemarin, dan kini entah sedang memikirkan keremehan yang mana?.

Keremehan-keremehan ini menurut Milan Kundera, pantas kita hirup sedalam-dalamnya, di sanalah kunci kebijaksanaan. Lalu saya menertawakan diri saya sendiri yang sebelumnya begitu kesal dan dibuat tertekan oleh sajian media di negeri ini.

Dibandingkan kesal, Kundera mengajak saya untuk melihat keremeh-temehan yang sering kita abaikan lalu menertawakannya, sekaligus berkontemplasi akan hal-hal tersebut hingga mengubah pandangan kita tentangnya.

Tidak butuh waktu lama untuk menamatkan buku yang satu ini. Namun seperti yang saya katakan, ini termasuk buku yang setelah dibaca, akan membuat anda memikirkannya lebih lama karena begitu banyak nilai-nilai dikemas dalam diksi yang filosofis.

Tidak mudah langsung menebak arah penceritaan Kundera, namuan ketika sampai pada bagian akhir, anda akan terkagum-kagum.

Keremehan-keremehan yang saya temui hari ini di negara ini pun saya hirup sedalam-dalamnya.

---
Judul               : The Festival of Insignificance
Penulis           : Milan Kundera

Terbit              : 2013
Jumlah Hal  : 115
Penerbit        : Editions Gallimard

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun