Mohon tunggu...
Esther Lima
Esther Lima Mohon Tunggu... -

No Biographical Info

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negara Gagal Menjamin Kebebasan Beragama

18 Februari 2013   13:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:06 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada tahun 2008 terdapat 15 kasus pelanggaran terkait dengan rumah ibadah. 12 kasus pada tahun 2009, mulai dari pemerasan agar dapat menggunakan gereja, intimidasi, hingga perusakan. Selain itu tercatat pula disfungsi aparat pemerintah yang ditandai dengan pembatalan pemberian izin karena tekanan masyarakat. Kasus-kasus tersebut diperburuk dengan rekam jejak tahun 2005 yang mencapai 50 kasus. Tercatat lebih dari 1000 kasus terjadi antara 1969 – 2006.

Regulasi negara yang digunakan dalam pembangunan rumah ibadah saat ini adalah Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8, tahun 2006. Selain memenuhi persyaratan teknis bangunan, PBM mengatur bahwa pendirian rumah ibadah wajib memenuhi: (1) Daftar nama dan KTP 90 orang pengguna rumah ibadah tersebut yang disahkan pejabat sesuai dengan batas wilayah setempat; (2) KTP 60 orang masyarakat setempat yang disahkan kepala desa atau lurah; (3) Rekomendasi tertulis kantor Departemen Agama kabupaten atau kota setempat; dan (4) Rekomendasi FKUB kabupaten atau kota setempat. Rekomendasi tersebut harus atas dasar musyawarah mufakat dan tidak dapat dihasilkan oleh voting.

Secara umum PBM didasari oleh keinginan pemerintah untuk memberi jaminan kepada para pemeluk agama menjalankan ajaran agama dan keyakinannya. Namun selama empat tahun pelaksanaan peraturan tersebut, terlihat berbagai celah diskriminasi, terutama dalam konteks pendirian rumah ibadah sebagai berikut:

1. Politisasi kewenangan pemeritah daerah dalam mengeluarkan IMB, misalnya, kewenangan ditukar dengan suara dari kelompok tertentu untuk memenangkan pemilukada. Di beberapa wilayah, seperti Bogor, diindikasikan calon kepala daerah dalam kampanye menjanjikan untuk tidak mengeluarkan IMB bagi agama tertentu. Politisasi jenis lain adalah ketika eksekutif daerah berasal dari partai Islamis. Jabatan yang diemban dimanfaatkan untuk menerapkan agenda Islamis di daerahnya. Salah satu agenda tersebut adalah menghentikan laju pertumbuhan rumah ibadah non-Islam.

2. Keanggotaan FKUB berdasarkan representasi jumlah pemeluk agama. Meskipun tertera dalam PBM bahwa keputusan FKUB atas dasar musyawarah mufakat, kenyataannya keputusan seringkali diambil melalui voting. Pengambilan keputusan melalui voting ini dengan sendirinya merugikan perwakilan agama minoritas. Ketentuan representasi juga menjadi masalah, karena sistem ini tidak memberi ruang bagi keberagaman “denominasi” di beberapa agama. MUI, misalnya, tidak mengakomodasi keberadaan Ahmadiyah.

3. Persyaratan dukungan dari masyarakat berupa 60 KTP berpeluang melahirkan diskriminasi. Menurut temuan Lembaga Survey Indonesia (LSI), masyarakat Indonesia umumnya tidak toleran terkait pendirian rumah ibadah. Sebanyak 64.9% umat Islam keberatan di daerahnya dibangun rumah ibadah agama lain. Dalam beberapa kasus, persyaratan dukungan ini menjadi celah kelompok tertentu untuk mendapakan uang. Artinya, kelompok tertentu menjanjikan dukungan dari masyarakat jika panitia pembangunan rumah ibadah membayar sejumlah uang. Jika tidak dipenuhi, pembangunan akan dihambat dan bahkan dukungan yang sudah terkumpul akan dipersoalkan.

Dari ketiga temuan tersebut terlihat bahwa regulasi negara sangat terbuka untuk dikalahkan oleh regulasi sosial. Regulasi sosial sering tumbuh dari kecurigaan dan kurangnya rasa percaya antar agama. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh persepsi bahwa kehadiran rumah ibadah suatu agama merupakan usaha untuk mempengaruhi warga sekitar agar berpindah agama. Atas dasar kecurigaan tersebut, sekelompok orang dapat menghambat pembangunan rumah ibadah agama lain di daerahnya. Isu perpindahan agama ini (khususnya Kristenisasi) kemudian menjadi mantra yang efektif bagi sekelompok orang untuk menghentikan atau merusak rumah ibadah dengan alasan Peraturan Bersama Menteri.

Kapasitas fungsional negara antara lain diukur dari kemampuannya menegakkan ketertiban masyarakat dan menjamin keamanan. Negara dengan kapabilitas keamanan yang kuat akan menjaga mobilisasi sosial masyarakat dalam koridor damai. Sebaliknya, kapasitas negara yang lemah dalam menegakkan keamanan akan menjadi insentif bagi mobilisasi anarkis. Kemampuan negara untuk menegakkan ketertiban sipil juga akan mencegah kelompok-kelompok sosial melakukan tindakan sepihak. Dalam konteks kontroversi gereja di Jakarta dan sekitarnya, ketidak mampuan pemerintah melindungi hak umat Kristen – sebagai minoritas- menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia.

- Esther Wijayanti -

Berdasarkan penelitian: Tim Peneliti Yayasan Wakaf Paramadina

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun