(Dikutip dari Buku Aruh Sastra XIX Kalimantan Selatan Oktober 2022).
        Oleh Esther Dwi Magfirah.
Gerimis pagi menyapa hariku.
Meski Angin dingin masih terasa menyentuh kalbu.
Meski kabut menemani suasana sendu.
Meski hati masih tertinggal di masa lalu.
Duhai alam semesta maha karya Sang Maha Kuasa.
Sapa aku dengan rinai hujanmu yang menyejukkan rasa.
Duhai angin laut dan riak gelombang maha karya Sang Maha Pencipta.
Sapa aku dengan hadirmu yang membawa rasa cipta.
Aku teringat masa lalu.
Aku di masa kini.
Aku berada di masa depan.
Sinar matahari seolah selalu mengingatkanku.
Untuk tak bergerak dari hatiku.
Embun pagi selalu siaga menyapaku.
Untuk berani bergerak dari akalku.
Kenapa harus bertaruh.
Bila waktu tak henti terus berputar.
Tapi tak sekali - sekali menghitung.
Asa yang terus menatap dengan sempurna.
Matahari, hujan dan angin.
Selalu hadir bersamaan seiring nuansa cinta
yang tak kan semarak tanpa pelangi.
Sedang kabut dan riak gelombang selalu cemburu
dengan nuansa cinta yang tak pernah membiru.
Atau tak lagi?
Pagi lebih dulu tiba.
Alam semesta lebih dulu bersenandung untuk cinta.
Pagi lebih dulu membawa makna.
Angin lalu tiba - tiba berlari mengejar cakrawala.
Seolah tiada batas senja, petang dan malam akan menghadangnya.
Tak apa.
Pagi di pantaiku.
Membuatku selalu hidup.
Pagi di pantaiku.
Membuatku selalu bergerak.
Aku tak sekedar menunggu sore.
Aku hadir untuk segenap cinta yang begitu indah.
Mewarnai hari dan menatap cakrawala.
Yang membentang.
Seluas hati di relung samudera.
Paling dalam.
Tanah Bumbu, 2 Agustus 2022.