Mohon tunggu...
Dina Esterina
Dina Esterina Mohon Tunggu... Lainnya - Pendeta di Gereja Kristen Pasundan. Blogger di www.dinaesterinastories.blogspot.com dan podcaster di AFTERCOV

Tertarik menyororot dan menautkan makna hidup sebagai seorang yang spiritual dengan berbagai fenomena yang ada di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memento Mori: Manusia adalah Titik Saja!

26 Oktober 2022   13:23 Diperbarui: 26 Oktober 2022   13:40 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

    Memento Mori adalah seni filosofi hidup dari Jepang yang mengingatkan kita untuk melihat kematian sebagai sesuatu yang bisa menghampiri hidup kita kapan saja. Ketika kita menyadari makna hidup, maka kita juga akan menerima saat untuk melepaskan diri dari kehidupan itu. Kewaspadaan akan saat mati itu akan dihayati sebagai momen kita menjalani hidup dengan sebaiknya karena sadar bahwa hidup dan saat-saat ini tak akan bisa terulang lagi. Kita jadi bijak. 

    Kadang, kita belajar memento mori ketika kita bermeditasi dengan cara kita masing-masing. Saat ini ada banyak filosofi menuntun kita bermeditasi mengenai kehidupan. Kala ini, semakin digitalisasi merasuk dalam hidup manusia, manusia jadi makin gelisah, namun juga menjadi waspada untuk kembali pada diri dan mencari kedamaian. Manusia mencari banyak jalan supaya tenang sedikit.

    Tetap menjadi tenang dan damai di tengah kebisingan tentu saja diperlukan. Biasanya, manusia mengadakan retreat atau kembali ke dalam keheningan untuk menyegarkan diri. Seperti mobil yang panas perlu didinginkan. Seperti kita perlu tidur untuk mengijinkan tubuh ini memulihkan sel yang rusak. Anak sekarang menyebutnya healing, yang tidak harus selalu dimaknai sebagai jalan-jalan melainkan apa pun upaya yang bisa kita lakukan untuk segar secara spiritual dan mental. 

    Saat-saat mengingat keterbatasan dan istirahat seperti ini membuat kita lebih terang dalam melihat sesuatu. Dan, tidak ada kebijaksanaan yang tinggi seperti ketika kita mencapai pengenalan akan diri sendiri dan segala sesuatu kata Sang Buddha. Inilah yang membuat kita menjadi seseorang yang melambat dan tidak rakus dengan kehidupan dan kepemilikan. 

    Ada sebuah diskusi mengenai hidup antar generasi. Ada generasi yang menganggap zamannya lebih baik di banding zaman ini. Sementara banyak yang menganggap anak generasi ini sebagai generasi paling lemah. Saya tidak sepenuhnya sependapat dengan itu. Semua generasi memiliki problematikanya masing-masing yang membentuk cara generasi di zamannya menemukan solusi atas persoalan hidup masing. Membentuk setiap generasi memandang memento morinya masing-masing.

    Persoalan yang ada saat ini adalah kondisi alam yang sudah mulai kelelahan menanggung beban. Bumi ini semakin menua dan kehilangan daya tahan terhadap beban atas segala sesuatu. Air, udara, laut, dan semua bagian bumi berteriak karena kepayahan. Dampaknya adalah semakin cepatnya manusia menua dan sakit. Kita mengabaikan apa yang akan dialami oleh generasi anak cucu kita kelak. Beberapa memutuskan berhenti melahirkan dan punya anak karena tak ingin anak cucunya menerima kerusakan bumi yang semakin parah. Sementara generasi sekarang ini hidup dengan sangat kritis untuk mencari solusi terbaik atas masalah yang ada di masa kini dan masa depan. Semua sibuk menyiapkan memento morinya.

    Saking banyaknya persoalan yang terjadi, spiritualitas menjadi berkembang bak pendaran cahaya. Cara orang memaknai tubuh, jiwa dan rohnya berkembang dalam spektrum yang begitu luas. Ada yang galau di jalannya dan memutuskan mengklaim tidak beragama. Yang lain mencari ketenangan dalam iman masing-masing atas apa yang diyakini. Perjalanan hidup beriman menjadi perjalanan yang unik dari relasi manusia bersama dengan Allah yang diyakini hidup dalam waktu dan menjadi penguasa semesta. Tak ayal, beberapa meragukan keberadaan Allah dan menyangkali Dia sampai pada pertanyaan yang harus dia jawab di akhir hidup melalui berbagai pertanyaan yang tak bisa dijawab kecuali dalam spiritualitas seperti penderitaan dan kematian. Lagi-lagi memento mori dijalani dalam upaya random dan lapisan dunia berpikir manusia saat ini. 

    Semua yang luas dan melebar ini adalah hal-hal yang mesti dihadapi manusia saat ini. Semua bentuk manusia kembali ke dalam diri dan menemukan ketenangan yang dia cari-cari adalah jalan yang unik. Jalan yang tak bisa terambil daripadanya. Karena berbagai probabilitas itu, manusia kini adalah manusia yang selalu ditantang menerima semua kemungkinan dan tak cepat menghakimi. Toleran dan kritis. Maka, dunia berada di perjalanan untuk mempersatukan peradaban dan kemanusiaan menemukan makna kehidupan dunia yang dijalani bersama-sama sebagai warga dunia yang memiliki hasrat sama untuk mengembalikan dunia ke kodratnya yang menjadi satu-satunya hunian yang ideal demi kehidupan ciptaan. 

    Di sisi lain, kita perlu keteguhan. Kita perlu prinsip dan keteguhan supaya memiliki dasar untuk melayarkan perahu, dan berlabuh. Ada banyak cara dan jalan yang ditawarkan untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan. Ada banyak orang yang berhipotesa namun belum selesai mengiklankan bahwa jalan mereka adalah jalan akhir, tapi sebenarnya mereka sendiri belum selesai. Dan, seperti kata Kierkegaard, selama kita hidup dalam dunia kita tak akan bisa menemukan makna diri final kecuali di akhirnya nanti. Maka, memento mori sekali lagi kita hayati dalam jalan yang kita pilih sekarang sebagai hasil dari kematangan menimbang dan bersikap.

    Ketika kita menyadari memento mori ini dengan sungguh, kita akan melihat diri kita ini hanya debu. Hanya uap. Nasib kita seperti binatang yang akan lenyap. Siapa diri kita akan direfleksi oleh manusia yang akan kita tinggalkan. Pencapaian kita akan digantikan oleh manusia lain, dan kita hanya salah satu kontributor dalam dunia yang luas ini. Kesadaran ini akan membuat kita banyak mengambil jeda sebelum berkata-kata dan bersikap. Kita akan hati-hati dalam membuat konten dan memprediksi komunitas. Kita akan sadar diri kita yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan berobat jika sakit sehingga tak kehilangan diri dan jadi orang jahat. Kita akan menimbang ulang buku-buku, artikel dan tulisan kita lalu melihat juga cara pandang orang lain melihat dunia. Kita akan melakukan apa yang terbaik yang bisa kita lakukan bagi dunia dengan kapasitas kita yang minimal. Tak ada pekerjaan yang remeh seperti juga tak ada hidup yang remeh.

    Mari menghayati perjalanan menjelang 2023 dengan keberserahan. Melihat hidup yang kita jalani dalam syukur yang tak berhenti kepada Tuhan yang Maha Kuasa sehingga kita bisa memperlakukan semua manusia dengan baik sama seperti kita ingin diperlakukan. Kita menabur perbuatan baik agar dunia dikuasai siklus kebaikan dan bukan sebaliknya. Menyiapkan hari yang berganti, pemimpin yang berganti, dunia yang berputar kita mengevaluasi diri dan mengingat, kapan pun kita bisa mati. Jadi, kita berhati-hati menyiapkan kematian kita agar dalam penghakiman apa pun yang sesuai iman kita akan kita hadapi nanti, kita bisa dengan lega berpindah pada kekekalan yang indah bersama Pencipta kita. memento mori!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun