Mohon tunggu...
Ester Ela
Ester Ela Mohon Tunggu... Freelancer - Perempuan dan sekelumit pikirannya selalu menarik untuk diapungkan. Aku perempuannyang pikirannya melompat-lompat. Tidak malam. Tidak pagi.

Ibu dua anak. Hobi masak tapi gak doyan makan. Intovert dan suka menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan yang Membenci Malam

12 Januari 2022   13:11 Diperbarui: 12 Januari 2022   13:16 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belum sekali pun matahari muncul sejak kami pindah kesini empat hari yang lalu. Pagi ini juga sama, hujan masih deras. Curahnya berlomba-lomba turun ke bumi. Kabut hitam yang menghantam turut menghadang cahaya matahari yang mengintip malu-malu. Bercampur angin bertiup menimbulkan bunyi berderit di atas pagar.

Ketika melangkahkan kaki keluar rumah, percikan air merata di ujung kakinya meninggalkan bekas basah di sepatu yang dikenakannya. Tangannya pula cepat-cepat meraih pintu mobil dengan tangan satunya berusaha menahan rintik hujan di kepala. Aku memandangi di balik pagar. Ku urungkan niatku bergabung dengannya seraya menghantar hingga di pintu mobil. Masih terlalu pagi untuk bermain-main dengan air hujan, pikirku.

"Aku berangkat." teriaknya takut kalau-kalau hujan meredam suaranya.

"Ya, hati-hati." balasku dengan teriakan yang sama.

Sekejap saja deru mesin mobil membelah kesunyian pagi. Ku balas lambaian tangannya sembari memastikan jejaknya hilang di ujung jalan. Hanya deru yang masih sayup tinggal di telingaku. Satu lagi kesunyian yang nyata.

Ku putuskan segera masuk. Angin masih terlalu dingin untuk berlama-lama di luar.  Aku mengancing pagar erat-erat lagi menutup pintu rapat-rapat. Wajar bagi pendatang baru layaknya aku menimang rasa was-was. Tengok saja pompa air di teras rumah. Bersebab aku lupa mengancingkan gerbang sehari selepas kepindahan kami. Ketika itu aku ke pasar membeli beberapa peralatan juga isi dapur. Selepas pulang pompa itu raib diangkat maling. Seharian aku berputar-putar mencari yang baru, belum lagi kantung yang harus ku rogoh lebih dalam. Sudah cukup baik kalau aku lebih berjaga-jaga.

Angin masih bertiup di luar, bahkan lebih kencang. Dinginnya terasa ketika sebagian menyelinap di antara jendela dan pintu yang meski telah ku tutup rapat-rapat. Ku putuskan menarik lagi selimut. Mungkin masih cukup menjemput satu dua mimpi. Sambil memandangi langit-langit, pikirku pasti sebentar lagi aku akan tertidur. Dingin selalu cukup ampuh mengajak mata untuk untuk segera terlelap. Pikiranku buru-buru melayang pada bayangan hari yang kosong dan membosankan. Justru memaksa mata tetap terjaga. Dengan menggoyangkan kaki gusar, ku ambil beberapa buku di sisi ranjang, membolak-balik halamannya berkali-kali tapi aku tak menemukan satu pun yang menarik.

Akhirnya ku lipat kedua tangan di atas kepala. Membiarkan semua bayangan melesap masuk  sampai ku dengar lonceng gereja berbunyi nyaring. Memang bersisian dengan rumah ada sebuah gereja. Sangat dekat. Aku bahkan bisa memandangi salib gereja dari jendela kamar. Burung gereja pula sering mampir di teras. Turun ke lantai teras mematuk-matuk beberapa kali entah mendapat sesuatu atau tidak. Burung-burung itu bisa sampai empat atau lima kali kedapatan bertengger di gerbang rumah.

***
Malam perlahan menyergap. Meninggalkan jejak temaram di atas pagar dan lantai yang basah. Sepasang burung gereja yang bermain dan terbang rendah di teras sudah pergi sejak tadi. Ya  sepasang. Tapi aku belum mendapat pesan darinya.

"Aku pulang agak malam. Jangan tunggu aku." kabarnya terakhir itupun siang tadi dan belum ada sampai malam ini.

Di hadapanku malam yang panjang dan kesunyian yang nyata sudah di ambang mata.  Kesunyian malam sering memaksa otakku mengurai peristiwa yang menakutkan lagi membuat sedih. Akh, andai saja aku bisa menutup saluran pikiranku yang terus berandai-andai kalau sesuatu terjadi dengannya. Membayangkan mobil itu melesat tadi pagi di hadapanku makin membuat pikiran terkutuk itu terlintas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun