Mohon tunggu...
Esra K. Sembiring
Esra K. Sembiring Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS

"Dalam Dunia Yang Penuh Kekhawatiran, Jadilah Pejuang"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Indonesia Harus Bersatu

1 Mei 2019   14:54 Diperbarui: 1 Mei 2019   15:11 1190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Beragam budaya, berbagai suku bangsa, walau berbeda-beda tapi satu jua. Ingat janji kita  tumpah darah kita, tanah air yang sama kita Indonesia. 

Mengutip sepenggal syair lagu Indonesia satu terasa sangat menggugah kalbu karena sangat relevan dengan konteks nasional seperti saat ini.

Hampir dalam  keseharian sebagian  masyarakat kita, politik serasa sudah mendarah daging dan merasuki sendi kehidupan. Diskusi soal politik negara ini seolah "materi" yang gampang saja dan menjadi konsumsi umum yang biasa. 

Kondisi ini menjadi semakin kompleks akibat perkembangan teknologi media sosial yang sangat pesat dan berkompilasi dengan "you tube" maupun media propaganda lainnya. Maka wajar saja jika semua orang merasa sudah mampu memahami politik, walaupun tentu pemahaman politik secara "instan" pasti rentan mengandung banyak kelemahan karena data dan fakta dalam politik harus selalu di verifikasi dan teruji kredibilitas nya dulu baru kemudian layak di perdebatkan. 

Benarkah masih wajar dan "aman" kondisi masyarakat awam kita yang sekonyong-konyong menjadi super sensitif dan super kritis sedemikian ini, sehingga semua orang bahkan se "kaliber" pakar hukum dan politik pun harus super hati-hati mengungkapkan konsep pemikirannya, bila tidak mau di polemik kan.  

Pada struktur sosial masyakat di  Indonesia yang sudah terbukti beraneka ragam agama, suku bangsa, budaya maupun adat istiadat ini para pendiri bangsa sudah sepakat untuk  menjaga bersama yang dituangkan dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945. Artinya,  baik sikap maupun komentar apapun itu diantara sesama "penghuni" nya harus dalam konsep pemikiran sebagai satu keluarga besar bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai agama, budaya dan suku bangsa itu. 

Ibarat-nya pada contoh kondisi kompetisi pemilu saat ini, semua pihak dipersilahkan dan bisa saja mengklaim paling banyak, paling layak, paling bersih  dan paling terbaik namun tidak berhak menuduh apalagi memvonis pada pihak masyarakat lainnya. Karena Indonesia sebagai negara hukum, maka semua perselisihannya harus diselesaikn secara fair melalui cara yang konstitusional. Perselisihan pendapat adalah sesuatu yang sangat wajar dan  manusiawi karena mampu mengarahkan kompetisi "liar" menjadi persaingan yang positif dalam merayu dan merebut hati rakyat. Baik untuk keperluan politik praktis saat ini maupun menabung simpati rakyat untuk strategi dimasa yang akan datang baik pada pilkada atau pilpres berikutnya. Artinya, pihak siapapun dapat (segera) menarik hikmah dari kekalahan saat ini untuk dapat dijadikan pembelajaran bagi strategi berikutnya. Daripada masih sibuk berpolemik terus.

Realitas masyarakat Indonesia memang majemuk, karena itu semua pihak dituntut mampu menempatkan kepentingan nasional yaitu  persatuan bangsa  menjadi kepentingan yang terutama.

Mungkin nasehat ini klise dan tidak nyaman terasa dihati para elit partai bila nasehat "kacangan" seperti ini selalu terus diulangi. "Bahwa sebuah pertikaian persepsi diantara masyarakat masih dianggap sebagai sesuatu yang wajar bila pertikaian kepentingannya tidak menggunakan simbol identitas primordialis didalamnya", namun bila ternyata masih ada pihak yang tetap nekat dan selalu menggunakan strategi primordialis dalam bentuk politik identitas yang bersinggungan dengan prinsip kesetaraan dan kemajemukan bangsa maka peran lembaga-lembaga (resmi) negara yang memang pada awal nya dibentuk untuk menjaga integrasi bangsa ini, para negarawan dan tokoh bangsa serta akademisi dituntut tampil lebih aktif lagi sebagai "penasehat" politik untuk segera menetralisir potensi de-nasionalisme yang diakibatkannya. Tidak hanya pasif "menonton" dan menunggu hasil pertikaian diantara elit yang sedang berkontestasi saat ini. Perbedaan perspektif politik dalam masyarakat yang dibiarkan bebas tanpa kontrol cenderung akan menjadi panas dan emosional. Terbukti dibanyak negara yang awalnya adalah negara besar akhirnya menjadi bola liar  yang membahayakan eksistensi suatu bangsa sehingga terjadi perpecahan bangsa seperti yg dialami uni soviet,  pecah menjadi 15 negara-negara kecil diantaranya rusia  azerbaijan, belarus, estonia, georgia, ukraina, uzbekistan dan lain sebagainya.

Uni Soviet kini hanya menjadi sejarah di dunia ini. Dibentuk pada tahun 1922 dan pecah pada tahun 1991 menjadi beberapa negara. Contoh sebuah negara besar yang bila tidak dijaga keras hanya bertahan selama 69 tahun saja. Sebuah contoh nyata yang harus kita cegah agar tidak terjadi di Indonesia.

Partisipasi masyarakat yang tinggi dalam politik sesunguhnya merupakan indikator yang menggembirakan bila dapat dijamin dan diarahkan partisipasinya itu hanya untuk kepentingan kemajuan bangsa bersama, bukan untuk kepentingan sebahagian pihak saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun