Mohon tunggu...
ERWAN RISTYANTORO
ERWAN RISTYANTORO Mohon Tunggu... -

Aku membaca zaman, Aku membaca semesta, Aku bersama kompas,

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

’Surat Sakti’ dari Rawagede

25 September 2012   02:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:46 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Perdamaian bisa disemai dari kata-kata. Pun, rekonsiliasi. Antara dua bangsa: si penjajah dan si terjajah. Si penjajah pun tertekuk di depan kata setelah waktu lebih dari separuh abad bergulir. Bagaimanapun, kata tetap berkedigdayaan. Bahasa senantiasa memiliki magika bila ia jadi penghantar suara nurani. Suara kejujuran dan kebenaran.

Seperti pernah diturunkan dalam banyak media massa, termasuk Harian Kompas, pada medio September 2011, tak kurang dari 400 janda dan ahli waris korban peristiwa Rawagede itu akhirnya menerima uang kompensasi secara resmi dari pemerintah Belanda. Para janda yang telah renta itu telah berpuluh tahun menunggu kebenaran dalam waktu yang terasa lambat merangkak. Dan kebenaran itu akhirnya datang, setelah 64 tahun berlalu sejak kejadian ’aib kolonial’ itu meletus. Kebenaran itu, bahkan, jua mewujud pada sebentuk permohonan maaf dan pengakuan rasa bersalah. Sungguh, ini adalah peristiwa mulia dan besar, sekaligus juga peristiwa literal yang mulia, dan juga besar.

Apakah itu peristiwa literal, dan mengapa pula ia harus dikarakterisasikan dengan ajektif gagah nan agung: MULIA dan BESAR?

Pada akhir tahun 1947 di sebuah kampung bernama Rawagede, di Balongsari, Karawang, Jawa Barat, sebuah pembantaian atas manusia oleh manusia terjadi. Tak kurang 400-an warga dan laki-laki sipil mati. Tentu, dalam keadaan yang mengenaskan dengan metode ’pematian’ yang keji. Drama horor amat keji ini dilakonkan oleh suatu  sistem politik era kolonial yang bercokol di Nusantara. Telah lebih dari 350 tahun sistem ini menancapkan kuku-kuku kuasa dan menghasilkan derita manusia dan tanah Nusantara. Nyawa manusia-manusia Rawagede hanyalah sebagian sangat kecil yang harus terkorbankan dalam ’abad-abad luka’ yang panjang itu.

Mungkin peristiwa itu hendak dilupakan oleh penguasa buku sejarah (bukan penguasa sejarah). Negeri Belanda, selaku pelaku praktik imperialisme dan kolonialisme, saya kira, sangat ingin menguburnya dengan dalam-dalam. Mungkin satu-dua serdadu pembantai, di hari tuanya ada yang telah menyentuh titik keinsyafan. Ia ingin membuka gerbang pintu permaafan, meski tidak pernah tahu caranya. Karena rezim Kerajaan Belanda, yang jauh nan di belahan bumi utara sana, tak hendak membuka luka dan aib diri dan bangsanya. Mereka ingin sempurna menyimpan luka.

Tapi menyimpan borok dan luka, tampaknya dalam sejarah dunia adalah upaya yang selalu berakhir sia-sia. Kebenaran akan menampakkan wajahnya meski tidak memiliki rumusan waktu. Dan, meski sunyi dari gemerlap berita dan hendak disembunyikan —atau bahkan ingin dilenyapkan— dalam sejarah, sekumpulan janda-janda dan keluaga-keluarga nestapa nan ringkih di Rawagede selalu ingin bicara. Mereka tak mau sejarah lenyap. Mereka mau kebenaran terkuak, meski tidak tahun kapan ia akan datang.

Tapi di akhir rentetan peristiwa ini dan di tengah perjuangan para korban pembantaian Rawagede menuntut kebenaran, babak drama beralih menjadi literal. Ada sepucuk surat. Surat ini sarat kata-kata kasih, pintu permaafan, dan kejujuran. Surat cinta dalam wujud tidak romantik. Surat itu lama ditulis. Pun sebenarnya masygul untuk dilayangkan oleh pengirimnya. Tapi surat yang membawa ’suara cinta’ itu toh akhirnya terbang menembusi benua. Surat itu sampai di tangan ratu, Ratu Kerajaan Belanda, Juliana. Di tangannya sendiri, ratu membaca surat pendek itu. Dan, sebuah titah pun terucap: Belanda harus meminta maaf secara resmi atas nama negara atas kejadian Rawagede. Juga, para janda korban peristiwa Rawagede harus dihentikan dari ’nestapa penantiannya’.

Dan, dalam upacara ala diplomatik nan bersahaja namun khidmad, kedua negara itu pun bertemu. Dua sahabat lama telah lama tak bersua, tersuakan. Lahir tekad untuk tidak berpisah. Demi masa depan, pintu maaf pun diucapkan dan dendam dilenyapkan. Sang Ratu, atas nama negerinya yang dikepung dam-dam dan samudera, memohon permaafan. Tak cuma kepada kaum janda itu. Tapi, juga kepada negeri Indonesia. Yang rukun ulang bukan hanya janda-janda dan serdadu-serdadu tua. Kedua negara merekonsiliasi, mengubur luka bersama dengan jiwa yang teramat besar. Sangat teramat besar jiwa itu.

Tak semua peristiwa Rawagede bertabiat literal. Ia bahkan (sejatinya) politis, idelogis, dan  ekonohistoriografis di era kolonial yang tak bisa disepelekan. Tapi di babak pamungkasnya ternyata menyajikan adegan literal. Mendemonstrasikan kekuatan kata, bahasa, sastra. ’Surat sakti’ yang mewakili suara hati korban peristiwa Rawagede, menunjukkan kesaktiannya. Secarik surat telah menekuk-lutut Sang Ratu yang perkasa. Sang Ratu takzim atas kata-kata dan bahasa. Kata-kata di surat itu begitu sakti. Ia berkedigdayaan untuk mengubah: mengubah dendam kolonial menjadi cinta humanistik yang kosmikal.

Tapi, surat itu hingga kini tak jelas siapa penulisnya. Juga tak jelas memakai bahasa apa: bahasa Indonesia atau Belanda. Tapi itu tidak genting: bahasa punya citra universal, dan juga jiwa.  Namun, bisa dipastikan, surat itu tak membawa sekadar suara hati kaum janda itu. Surat itu menghantarkan pesan-pesan yang melampaui zaman-zaman. Ia menyatakan bahwa cinta dan maaf adalah kemuliaan. Karena itulah, ia meluluhkan hati. Hati terdalam Sang Ratu, boleh jadi, tergetar hebat kala pertama mencerna isinya.

Sebagai peristiwa literal, kita belajar dari peristiwa ini bahwa kata mampu (dan senantiasa) membawa pesan. Kata bukanlah pepesan kosong. Di dalamnya ada makna, isi, substan. Substan, itulah ruh dari deretan huruf yang mengonstruksi menjadi kata. Dan, kata-kata berderet-deret dalam suatu tata gramatika dengan ruh kejujuran, ia berpotensi menjelma menjadi ’kedigdayaan’ dengan magika-magikanya.

Kini, kita hidup di zaman yang —barangkali—lupa dengan substan itu. Kata-kata hambur tanpa kejujuran. Nurani tidak pernah tulus menitipkannya pada huruf-huruf. Kata-kata dalam ruang publik yang semestinya mencerahkan dan menginspirasi justru menghampa. Kita kehilangan ruh dalam berkata, bertutur, berbahasa. Kita telah menjadikan kata, tuturan, laku berbahasa yang serba palsu. Pidato resmi palsu, nasihat-nasihat palsu, kampanye palsu, iklan-iklan palsu, surat-surat [keputusan] palsu, berita palsu, komentar palsu, kicauan-kicauan (tweets) palsu, bahkan khotbah-khotbah palsu.

Peristiwa Rawagede secara literal menjadi penting. Ia mencetak dan mengabadikan tentang kedigdayaan bahasa. Di sini kita diajak untuk mengerti, bahwa kita harus kembali memuliakan bahasa. Bahasa harus diisi dan ditumpangi kejujuran. Kita harus terpahamkan bahwa bahasa adalah kendaraan nurani, cinta, dan kejujuran. Bukan kendaraan kepalsuan dan pencitraan kosmetik atau kemunafikan.

Karena pemuliaan bahasa, kita juga harus enggan menggunakannya dengan asal-asalan dan sembarangan. Muliakanlah bahasa dalam pesan-pesan pendek Anda, dalam kicauan-kicauan Anda, dalam setiap gerak bibir dan jari-jemari Anda, dengan pena atapun aneka gadget supercanggih dan ’supersakti’ itu.....  []

Ditulis oleh:
Erwan Ristyantoro
Jl. Cemara II No. II Gumpang, Kartosuro, Solo
Telp: (0271) 9183-108 / 0852-3472-4422
E-mail: ristyerwan@yahoo.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun