Mohon tunggu...
ERWAN RISTYANTORO
ERWAN RISTYANTORO Mohon Tunggu... -

Aku membaca zaman, Aku membaca semesta, Aku bersama kompas,

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa dalam Belantika Musik Kita

25 September 2012   02:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:46 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Pada beberapa tahun terakhir, ada gejala yang cukup menarik dalam belantika musik di tanah air bila diteropong dari kacamata bahasa. Gejala ini adalah pemberian nama-nama atau julukan-julukan yang berkonotasi ’serba besar’, ’serba agung’, ’serba tinggi’, ’serba kuasa’, atau ’serba digdaya’ yang diterakan pada nama-nama artis atau suatu kelompok musik yang cukup punya nama dan sangat populer.

Salah satu contoh paling nyata adalah nama kelompok musik ’Raja’. Kata ’Raja’ tentu memenuhi syarat untuk melahirkan konotasi yang serba besar, serba tinggi, serba digdaya, serta serba kuasa seperti disinyalir di atas. Kata ’Raja’ sudah teramat populer sebagai suatu kedudukan tertinggi dalam suatu sistem pemerintahan atau suatu sistem politik yang bercorak monarkhis. Raja adalah penguasa tertinggi dalam suatu kerajaan, dimanapun kerajaan itu berada dan pada zaman apapun kerajaan itu mengada.

Nama band ’Raja’ ini pun mendapat ’pendamping’ dengan kemunculan grup band perempuan berjuluk ’Ratu’. Kata ’Ratu’ tak diragukan lagi adalah juga sejenis status tertinggi dalam suatu entitas kerajaan, hanya pembedanya adalah bahwa ratu berjenis perempuan yang sekaligus bisa juga menjadi permaisuri atau istri dari Raja, atau seorang perempuan yang memang berkuasa penuh atas suatu kerajaan, semisal Ratu Sheba atau Rata Saba, yang pernah hidup dan berjaya 4.000 tahun yang lalu.

Gejala lain masih bisa ditampilkan di sini, seperti penamaan grup band ’Dewa’ pimpinan Dhani Ahmad. Atau juga kelompok musik ’Wali’, ’Peterpan’, ’Titans’, ’Dewa Dewi’, ’Samson’, ’Mahadewi’, ’Bagindas’, ’Goliath’, ’Tahta’, ’Mahkota’, atau ’Kaisar’, sebuah kelompok musik rock yang berasal dari kota Solo.

Semua nama ini tidak lain dan tidak bukan akan selalu mengkonotasikan pada sesuatu hal yang serba besar. Contoh nama-nama band ini selalu merujuk pada suatu kedudukan, status, atau jabatan yang penuh kuasa atau sesuatu yang serba merujuk pada suatu ’kebesaran’, tak terkecuali pada nama ’Wali’ sekalipun.

Namun patut dicatat, gejala nama-nama berkonotasi tinggi ini tidak muncul pada dunia musik Indonesia pada dua atau tiga dekade lalu. Pada masa itu, nama yang muncul justru semangat yang sebaliknya, sejenis ’serba rendah’, ’rendah hati’, atau bahkan sengaja ’menjelekkan diri’. Nama seperti ’Fals’, ’Soembang’, ’Mesakh’, ’Gombloh’, atau ’Slank’ adalah contoh-contoh nama yang tak bepretensi ’serba tinggi, walaupun pemilik nama itu adalah artis tenar dan terkemuka.

Melihat perbedaan tren penamaan ini, gejala apakah yang bisa dibaca dari ranah bawah sadar kolektif masyarakat penutur bahasa Indonesia sekarang ini? Dalam kajian disiplin semantik (ilmu yang mengupas tentang makna-makna), tak bisa dipungkiri, bahwa setiap nama sejatinya selalu memuat suatu filosofi dan pesan mendalam. Nama bukan sekadar simbol mati. Arti dari nama tidak sebatas sebagai identitas suatu eksistensi atau suatu fenomena. Di dalam nama tersimpan ’bergudang-gudang data’ yang secara jujur menyimpan sifat dan tabiat zaman, seperti kromosom di dalam tubuh fisiologis manusia.

Tampaknya, dalam tinjauan semantik ini, nama-nama artis atau kelompok musik ini mencerminkan semangat zaman masyarakat kita. Pilihan nama-nama ini menjadi penanda tabiat zaman saat ini. Tanda yang tersirat adalah: sesungguhnya bangsa Indonesia saat ini sedang memiliki ’tingkat kepercayaan diri’ yang sangat prima. Rasa dan sikap kepercayaan diri ini sangat positif, karena merupakan bekal mental yang sangat baik untuk dimiliki oleh suatu masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia saat ini, terutama di tengah keterpurukan dan masih miskinnya prestasi yang diukir oleh bangsa ini.

Dengan berbekal kenyataan ini, –dan karena bahasa adalah realita dan menjadi bagian dari perkembangan jiwa masyarakatnya– maka, sifat positif ini harus senantiasa diaktualkan. Sifat ’serba tinggi’ penting, karena ia adalah tanda optimisme. Namun akan lebih elok lagi bila dihias juga dengan sifat ’kerendahhatian’ sehingga tidak mewabahkan arogansi dan megalomania yang membabibuta.

Dan saya pun sungguh bersyukur, karena hingga kini tak muncul nama band Indonesia yang bernama ’Fir’aun’ atau ’Pharaoh’. Dan kegembiraan saya pun bertambah-tambah ketika 'Peterpan' bermetamorfosa menjadi nama yang sangat profetik: 'Noah'. Semoga nama profetik sejenis ini mampu memberi wangi harum bagi dunia kita, agar tak sesak dengan kepalsuan. []

********

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun