Di tepian danau kehidupan cerita itu di mulai. Oleh orang-orang yang lupa bahwa mentari sesungguhnya  mampu membelai senja di ujung penantian. Di antara perahu-perahu nelayan yang mengombak pulang dikitari camar-camar yang terbang mencari sarang.
Sementara butiran keringat menghiasi tubuh dan jatuh menggenangi asa yang dipijak. Orang-orang masih diselimuti keinginan yang tidak dibutuhkan. Untuk merajut, dan menjahit benang-benang kehidupan yang bisa utuh membentuk kepercayaan diri di hadapan anak, dan istri.
Namun sesuatu yang sudah terbentuk itu lantas ditepis pelan-pelan menjauhi ketenangan, menjemput keangkaraan. Oleh orang-orang yang tidak ingin lagi hangatnya cahaya mentari menerpanya. Sorot mentari dirasakan sebagai panas yang membakar dari jiwa-jiwa yang kering di musim kemarau.
Roda musim pun bakal diam. Tiada lagi hujan dan kemarau yang dirasakan. Orang-orang diperdaya oleh nafsu yang bersemayam di dalam jiwa. Tidak mampu lagi keluar menerobos lorong gelap meskipun mata terbuka bisa melihat pantulan cahaya yang ada di hadapannya.
Anak, dan istri mencari-cari. Kemana lagi kami akan dipeluk mentari, diselimuti senja, dan dinaungi bintang-bintang malam yang gemerlap terang?
Orang-orang itu lebih memilih diam.
Padahal di luar sana masih banyak camar-camar yang terbang mencari sarang. Tapi diam-diam sebenarnya iri dengan kehidupan yang dialami orang-orang itu. Entah damai, maupun tengkar.