Dokpri
Wajahmu menekur kuat tiada ekspresi di tengah cahaya buram lilin kecil yang menemani coretan tanganmu di secarik kertas. Aku mengandaikan begitu.
Tidak apa kaumenulis puisi, sedangkan yang aku tulis hanya cerita. Sementara tulisan kita itu ujung, dan hasilnya tetap sama. Tentang cinta, cemburu, pelaminan, anak, dan rumah tangga.
Ketika aku baca, kaugunakan sudut pandang yang berbeda untuk memuaskan hasrat menulismu itu. Aku tahu atau sok tahu, semua itu tentang gejolak rasa yang tersimpan rapat di sudut lamunanmu.
Sementara, tidak ada aku menulis cerita yang hanya sekadar menghanyutkan atau membangkitkan gairahmu dengan latar puisimu itu. Aku tahu diri.
Karena di balik cerita yang aku tuangkan ada keinginan kuat untuk mengembalikanmu pada kesucian. Pada keadaban, dan pada keabadian. Engkau barangkali mengetahui, Â isi cerita yang aku susun kalimatnya itu tanpa ada romantis-romantisnya.
Padahal keinginan untuk menuliskan itu meluap-luap bagai saluran air yang tersumbat di kanal cinta. Tapi aku tidak mengisyaratkan dalam cerita itu. Biar saja, siapa tahu, dan kapan tiba, kaubisa memahaminya.
Sayangnya, penantianku tidak akan pernah tiba. Kautidak pernah sedikitpun menoreh isyarat dalam puisimu tentang ceritaku. Sebagaimana pantun berbalas, meski dalam goresan genre yang berbeda.
Kenapa?Ceritaku itu selalu memberi tanda yang mengarah padamu. Tanda yang sering diisyaratkan oleh bulan, bintang, langit, angin, hujan, badai, petir, karang, ombak, dan lautan.
Tapi justru kaumenjauhi isyarat yang aku bingkai untuk menjagamu itu. Dalam puisimu, kauhanya senandungkan rindu,perih,penantian,sabar,putus asa,harapan, dan kapan tiba?
Kapan tiba?Aku juga bertanya hal yang sama. Â