"Iya Bu, terima kasih. Semoga ibu juga lekas membaik, dan kembali ke rumah,"balas Sri tersenyum pada wanita tua itu.
Mereka bercakap ringan didengar Puan dan Siwan seraya memegangi jemari ibunya riang. Tirai ditutup kembali oleh wanita tua itu. Namun siang itu dirasa lambat berjalan oleh mereka. Waktu seperti berhenti di ruang perawatan inap kelas tiga ini.
Mereka menunggu saja namun tidak pasti. Padahal semua perlengkapan Sri sudah dikemas ke dalam tasnya untuk kembali pulang.
Sementara di ruang lain, Kasdut tidak percaya. Biaya rumah sakit tidak bisa dicover oleh kartu ajaib yang dipunyainya. Ia tetap meminta agar pihak rumah sakit meneliti kembali. Namun tetap hasilnya Kasdut mesti membayar biaya perawatan istrinya secara tunai.
Ia berhitung tiga hari perawatan sudah menghabiskan biaya sekian juta. Biaya itu ia baca baris perbaris dengan cermat. Ada biaya obat, ruang inap, infus, dan seterusnya. Sekian juta terasa berat, dan mahal. Baginya tidak ada pilihan, selain meminta keringanan biaya itu pada rumah sakit.
"Kalau begitu saya minta biaya keringanan saja agar istri saya bisa pulang hari ini,"pintanya.
"Bapak urus saja surat-suratnya dulu. Yang ada belum lengkap."
Kasdut tanpa membuang waktu segera mengurus surat-surat tersebut dibantu oleh kawannya, Kusni. Tidak makan waktu lama, Kusni bilang surat-surat yang dibutuhkan sudah lengkap, dan siap untuk diserahkan pada rumah sakit.
Usai diserahkan surat-surat itu tetap saja tidak signifikan ringannya biaya itu. Kasdut berpikir ulang kembali untuk meminta bantuan sanak keluarga. Namun urung ia lakukan.
Karena putus asa ia meminta jalan bagaimana supaya biaya rumah sakit bebas bagi istrinya Sri.
"Istri bapak bisa keluar dengan bebas namun mesti di rawat lagi."