Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cincin Kenangan dari Kopral Sodikin

6 Agustus 2020   10:40 Diperbarui: 12 Agustus 2020   17:10 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jelang tengah hari itu, Dinda keluar dari pintu rumah keluarganya yang megah, dan asri.  Perlu beberapa langkah untuk menuju pintu pagar untuk keluar menyusuri jalan. Ia sempatkan memotek bunga tabebuya lebih dulu  yang menghiasi halaman. Dipandangi bunga yang merah muda itu ditangannya, dan tak ingin ia lepaskan. Ia terus saja melangkah dan menjauh.

Dinda sampai di tikungan jalan komplek perumahan sebagai pembatas. Ada mulut gang yang belum di aspal di situ. Jalan tanah ini ia lewati. Kakinya meloncat ringan menghindari genangan. Tidak jauh, hanya 40 meter, dan ia bisa lihat pemukiman warga asli di sini. Ini untuk pertama kalinya ia berada di sekitar pemukiman warga dekat dengan kediamannya.

Ia perhatikan di sekitar anak-anak tengah bermain di lapangan tanah yang bergaris. Rupanya garis untuk main badminton. Ada yang main loncat tali, berlarian ke sana-sini, dan kemudian matanya tertuju pada seorang nenek yang tengah merajut benang wol. Di teras rumah sederhana itu ia datangi nenek berkaca mata yang masih tampak cantik, dan cekatan diusianya.

Ia tak sungkan, dan ragu untuk menegur sapa. Sepatah kata salam ia ucapkan santun, dan nenek itu membalasnya tersenyum. Tampak deretan giginya utuh, dan bersih. Tak ada warna kehitaman seperti kebanyakan orang lanjut usia.  Tak butuh waktu lama, keduanya berbincang akrab. Dinda lebih banyak memuji, hingga ia bertanya tentang rajutan wol dari nenek ini.

"Sedang merajut apa Nek?"

"Ini untuk taplak meja, neng."

"Bagus sekali, Nek. Sebentar lagi jadi ya?"

"Iya. Sambil ngobrol juga selesai ini."

"Kok warnanya merah, dan putih. Tidak yang lain, Nek?"

Nenek itu tidak segera menjawab. Hening sesaat. Ia kemudian melepaskan kerja rajutannya, juga kacamata yang ia kenakan. Lalu memanggil cucunya untuk segera menyiapkan minum, dan kue sekadarnya untuk Dinda. Obrolan pun kembali mengalir. Pertanyaan Dinda tentang warna diceritakan runtut oleh nenek ini.

Nenek ini bilang, sebentar lagi perayaan kemerdekaan. Nenek tiap tahun mesti mengganti taplak meja dengan warna ini. Merah putih itu dwi warna. Warna bendera negara, dan tanah air kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun