Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepeda Wasiat Bapak

3 Agustus 2020   10:55 Diperbarui: 12 Agustus 2020   20:07 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pexels.com

Ia mematung sesaat di hadapan gedung sekolah itu. Hari masih terbilang cerah. Matahari juga menyorot sinarnya terang. Pepohonan mau melambai diterpa angin. Matanya diarahkan pada tulisan di tembok muka gedung ini. SEKOLAH DASAR HARAPAN MULIA. Jelas, dan tidak sebagaimana dulu yang ia tahu. Dulu tulisan itu seadanya di atas papan nama di muka halaman sekolah.

Di sekitarnya ramai. Orang hilir mudik. Dan, di situ ia habiskan separuh usianya untuk mendidik, dan mengajar.

40 tahun lamanya berdinas sebagai guru sekolah dasar bukan waktu yang pendek. Banyak pengalaman yang diperoleh di masa pengabdiannya itu. Tidak hanya soal pendidikan semata, tapi juga menyelami perkembangan anak didik. Anak didik yang menjadi generasi bagi keluarga, lingkungan maupun bangsanya. 

Kelak mereka itu bisa berguna atau tidak di masa mendatang dari dasar pendidikan itulah segala yang didapat di bangku sekolah akan mewarnai kehidupan mereka. Dan, bersyukur mereka rata-rata menjadi anak baik setelah menjalani pendidikan lanjutan, maupun di kehidupannya sekarang.

Buktinya apa?Ketika reuni sekolah dasar angkatan tahun 1975, mereka, murid-muridnya, mengundangnya untuk hadir. Ia menjadi satu-satunya guru yang tersisa dari sekolah itu. Usianya kini 87 tahun. Di usianya itu ia masih sanggup berdiri SEBENTAR di hadapan mereka untuk sekadar mengucapkan satu atau dua patah kata. Mereka semua diam, dan terpaku mendengarkan bicaranya.

"Terima kasih sudah mengundang bapak untuk hadir. Dan, mohon maaf, bapak sudah tidak mengenali kalian lagi. Mohon maaf ya,"katanya mengulang, mengawali bicaranya. Tubuhnya ringkih, mulai terbungkuk, serta tak kuat menopang lama-lama kakinya. Ia kemudian disodori kursi, lalu letak mikropone diturunkan sedikit, dan kembali berbicara.

Ia selanjutnya lebih banyak mengutarakan pesan agar mereka yang dulu pernah menjadi muridnya untuk tetap menjadi orang yang baik. Tak penting murid-muridnya sekarang menjadi apa, baginya cukup mengatakan menjadi orang baik saja, adalah segalanya. Cuma dulu ia selalu tekankan juga pada mereka gantungkan cita-cita setinggi langit. Dan, itu yang meresap bagi murid-muridnya yang kini hadir.

Namun begitu sesaat keheningan mulai terasa tatkala ia menyebutkan beberapa nama guru yang menjadi koleganya di sekolah ini. Ia menghendaki agar mereka juga bisa hadir bersamanya di sini. Ia bertanya, tapi tak peroleh jawaban. Ia tekankan, katanya, sejak pensiun sudah tidak berjumpa lagi dengan mereka. Sebab ia balik kembali ke desa di mana tempat ia dilahirkan dulu. Tak ada jawaban.

Kemudian seorang kepala sekolah yang juga adalah muridnya dulu datang mendekati, dan membisikan padanya.

"Mereka semua sudah tiada, pak,"bisiknya lirih.

Ia menundukkan kepala usai mendengarnya. Perlahan airmatanya tampak tergenang dari balik kacamata. Ia ambil saputangan, lalu menghapusnya. Kesedihan sangat dirasakan. Tak lagi ia bisa berbagi untuk sekadar menanyakan kabar, atau bahkan cerita ketika dinas mendidik anak-anak. Tak ada lagi. Semua ia simpan untuk dirinya. Ia pun tak sanggup lagi untuk meneruskan bicara di hadapan semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun